html> SANG PENYIAR <$BlogRSDURL$>

Friday, December 31, 2004

TERAKHIR 2004
Hari ini hari terakhir 2004. Korban Aceh sudah mencapai 80.000 orang. Jumlah yang tak terbayangkan. Jumlah yang kalau berbentuk tumpukan mayat bisa seketika memunculkan ilusi tentang kiamat. Sebagian orang sudah menyebut kata “kiamat”. Terutama bagi mereka yang kehilangan seluruh anggota keluarga secara sekaligus. Suatu kesedihan yang di luar kemampuan kita untuk berempati.
Hari ini aku berpikir tentang berbuat sesuatu untuk Aceh. Tapi kemudian yang aku lakukan sebatas mengirim sms kalau-kalau ada yang mau menyumbangkan baju anak-anak. Dan, memasukkan beberapa lembar uang ke kotak peduli Aceh. Setelah itu apa lagi ?
Hari ini mungkin kita bersemangat memberi bantuan ke Aceh dengan cara masing-masing. Tapi tetap akhirnya terbetik satu kesadaran: kita cuma memberi sedikit. Sebagian dari kita --termasuk aku-- berhenti hanya pada membei lalu sudah. Seakan-akan kita sudah melakukan tugas. Salut untuk Si Paul. My Friend. Dia memaki-maki aku karena tv masih saja terus-terusan menayangkan parade kesedihan tanpa solusi sama sekali, dia memaki aku karena di Aceh tidak ada yang menjadi koordinator, dia memaki aku karena meredia tidak terus-menerus menekan pemerintah supaya segera memberi isntruksi yang berarti. Dia pontang-panting mengetuk hati orang supaya berbuat sesuatu. Dia kesana kemari mengumpulkan baju-baju yang layak pakai. Dia terus mengecek apakah dia sudah bisa diberangkatkan sebagai sukarelawan atau belum. Kawan, aku tidak pernah tersinggung kamu maki-maki. Seumur hidup belum pernah aku lihat kau marah. Tapi kali ini kau begitu marah oleh sesuatu yang bukan menyangkut diri kamu sendiri. Kau marah karena Aceh.
Hari ini aku masih mendengar banyak ketawa di sekitarku. Seandainya ketawa itu bergema dan terdengar hingga ke Aceh, sepedih apakah yang mungkin dirasakan hati mereka ? Dan, aku tidak bisa bayangkan jika di malam ini masih ada yang tega meniup terompet kegembiraan........

Tuesday, December 28, 2004

TSUNAMI
Untuk sementara kami tidak memikirkan hikmah apa di balik bencana Tsunami ini, ijinkan kami sibuk membantu saudara-saudara kami yang tertimpa bencana. Engkau pasti sudah tahu betapa memilukan kejadian di Aceh. Banda Aceh berubah jadi killing field yang mengiris hati. Bahkan sebuah pulau kecil berisi penduduk 1000-2000 jiwa mati tenggelam tanpa tersisa.

Untuk sementara kami tidak peduli pada orang-orang tertentu yang bicara seolah-olah musibah adalah hasil dari begitu banyak dosa. Alangkah bodoh orang-orang yang menyangka Engkau sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan padahal Engkau sendiri yang mencipta manusia. Ijinkan kami tidak mempedulikan orang-orang yang berkoar atas nama agama itu. Saat ini kami terlalu sibuk mengumpulkan makanan, baju-baju dan menggalang uang dari segenap saudara-saudara kami yang kebetulan cukup kaya dan berada.

Untuk sementara ijinkan kami menangis. Bukan karena kami tidak ikhlas atas segala rahmat-Mu. Kami ingin menunjukkan bahwa kami manusia biasa. Kami bisa sedih ketika saudara kami terluka, kami bisa menangis saat saudara kami terkena musibah. Tangisan kami bukan protes kepada-Mu. Tangisan kami adalah pujian kepada-Mu karena memelihara hati kami yang peduli pada sesama saudara.

Tuesday, December 21, 2004

TERANIAYA
Orang Indonesia ternyata memposisikan dirinya sebagai orang teraniaya. Sebagai orang teraniaya dia bebas melakukan apapun tanpa harus tunduk pada peraturan apapun. Aryo terpaksa berkesimpulan ekstrem seperti itu ketika melihat kejadian yang ekstrem. Di acara ulang tahun sebuah stasiun tv, grup Slank satu panggung dengan Iwan Fals. Dua-duanya punya penggemar yang kelewat banyak. Ketemu di satu tempat. Jadilah anarki. Para penggemar ini memposisikan diri sebagai orang “teraniaya” karena tak dibolehkan melihat bintang pujaannya (padahal aturannya untuk menonton ya harus mempunyai undangan atau tiket). Mereka merusak pagar. Mereka merusak mobil yang parkir. Sebagai orang teraniaya mereka perlu model orang yang menjadi penganiaya. Penganiaya ini adalah semua orang yang bukan mereka. Semua orang yang berada di luar mereka. Mobil-mobi itu milik orang-orang diluar mereka. Karena itu harus dihancurkan. Total mobil yang rusak mencapai 50 buah.
Di jalanan pun banyak orang memposisikan dirinya sebagai orang teraniaya. Sebuah motor ditabrak mobil. Situasi ini diterjemahkan sebagai si kaya pemilik mobil menganiaya si miskin pemilik motor. Sehingga si pengendara motor bebas melakukan apapun pada si pengendara mobil meski si pengendara motor yang salah. Mungkin ini terlalu menggeneralisasi. Tapi minimal si pengendara motor punya kekuasaan yang lebih tinggi ketika di jalan ditabrak mobil karena ... ya itu tadi... ia punya dalih sebagai orang teraniaya.
Karena itu, untuk pagi ini Aryo menciptakan tema yang tidak lazim: “dianiaya oleh orang yang merasa teraniaya.”. Ini berkaitan dengan novel yang baru dibaca Aryo. Karya pengarang Vietnam. Tentang masa-masa ketika Vietnam dikuasai komunis. Para petani saat itu melakukan pemberontakan dan menjadi kelas penguasa. Mereka menggeneralisasi semua orang yang memiliki tanah sebagai kamu borjuis. Padahal, memiliki tanah cuma seperempat hektar bisa jadi masuk golongan orang miskin tapi ia tetap kena kebijakan pembasmian pemilik tanah. Situasi yang absurd.
Penelpon pertama berasal dari seorang perempuan yang tidak mau menyebut namanya.
“Sejak kapan cewek menolak cowok dianggap sebagai penganiayaan ?!! Dua kali saya mendengar kasus di kalangan temen sendiri dimana mereka menolak dan kemudian dibalas dengan tindakan yang menyakitkan. Temen saya ini nggak nerima cinta seorang cowok, lalu dengan caranya dia bisa deketin boss-nya hingga akhirnya dia dipecat. Gila gak. Dengan alasan dianiaya, dia bisa menganiaya jauh lebih kejam. Temen saya yang satu lag, begitu menolak cowok, besoknya dia menjadi korban tabrak lari hingga kakinya patah. Memang cowok tersebut nggak terlihat langsung, tapi siapa lagi kalau bukan dia ?!! Para cowok mentalnya memang udah parah. Nggak sportif.”
Perempuan itu tampak sangat emosional. Itu yang membuat Aryo menahan diri untuk tidak tersenyum. Masalah ini menggelikan tapi sekaligus serius. Masalah mental sebagai orang teraniaya ini begitu luas menyebar. Menjadi laten. Dan, sewaktu-waktu meledak.


This page is powered by Blogger. Isn't yours?