html> SANG PENYIAR <$BlogRSDURL$>

Thursday, April 29, 2004

SORGA
Aryo bangun jam lima. Masih ada sisa adzan yang terdengar. Tapi Aryo tidak tergerak untuk mengambil wudhu. Entah sudah berapa bulan ia tidak pernah lagi sholat subuh. Ah, anehnya, kali ini ia sama sekali tidak merasa berdosa. Merasa berdosa atau tidak memang sebuah persoalan yang sangat personal. Inneke, di acara Lepas Malam kemarin, mengaku bahwa semua perubahan pada dirinya dimulai dengan rasa berdosa yang amat sangat. Waktu itu, cerita dia, ia tiba-tiba begitu bersemangat mendengar semua ceramah agama di tv-tv. Ada satu ceramah yang membuat dia tersentuh. Di satu sisi, dia merasa dosanya bertumpuk-tumpuk karena sejak lahir sampai saat itu, ia sama sekali tidak pernah sholat. Di sisi lain, ia diyakinkan lewat ceramah itu bahwa Tuhan maha Pengampun kalau kita benar-benar mau tobat. Maka, sim salabim. Berubahlah Inneke ! Ketika ditanya apa rencana dia selanjutnya, Inneke menjawab tegas: menjalankan program untuk bisa masuk sorga. Farhan tertawa. Inneke menambahi: lho, orang yang masuk sorga itu sedikit lho, dan saya ingin menjadi bagian yang sedikit itu ! Farhan manggut-manggut.
Dan, sekarang Aryo manggut-manggut. Benarkah religiositas bisa seegois itu ? Seakan-akan orang beriman –kalau bisa—masuk sorga sendirian. Tidak perduli dengan orang lain. Aryo mencoba mengingat apa yang pernah dibacanya. Menurut riwayat, ketika Rasulullah menjelang meninggal cuma mengatakan “Umat…Umat….Umat…” Cuma itu yang dikatakan. Dia tidak mengatakan “Sorga….Sorga….Sorga.” Spiritnya, berdasarkan penafsiran Aryo yang terbatas, buat apa Sorga kalau sebagian besar umat tidak menikmatinya.
Pagi ini Aryo menyempatkan diri untuk berjalan-jalan dulu. Ia sengaja berdiri di lapangan Banteng. Di situ adalah posisi yang strategis untuk memandang bangunan gereja dan masjid bersebelahan. Istiqlal dan Theresia. Aryo mencoba membayangkan apa yang ada di benak orang-orang yang keluar masuk di gereja dan masjid itu. Apakah mereka semua cuma memikirkan sorga ?
“Listeners…. (Aryo menarik napas)…..setiap orang punya gambaran yang beda-beda tentang sorga. Danarto pernah mengatakan kalau sorga itu cuma kenikmatan seperti menikmati nasi panas dengan lauk ikan asin dan sambal, ia sudah puas. Sebagian lain menggambarkan sorga adalah kebersamaan dengan orang-orang alim sambil terus-terusan menyebut nama Allah. Sebagian yang lain menggambarkan sorga adalah kenikmatian dikeliling para bidadari seksi nan cantik. Apapun gambaran anda tentang sorga, itu menggambarkan karakter anda. Anda termasuk yang hedonis, egois atau solider.”

Tuesday, April 27, 2004

PUISI
Puisi sebenarnya adalah sesuatu yang sehari-hari. Setiap orang pada dasarnya bisa menulis puisi. Tidak percaya ? Sitor Situmorang, seorang penyair terkenal, menulis serangkaian kata yang cuma terdiri 4 kata “bulan purnama di atas kuburan” (Malam Lebaran). Semua orang sepakat itu puisi. Kalau melihat secara harafiah, maka harusnya setiap orang bisa membuat puisi. Apa susahnya coba merangkai cuma 4 kata ?! Aryo berjalan di sebuah lorong di pasar baru, ia melihat puisi ditulis di tembok. “Lebih baik kau tembak kepalaku daripada kau tembak hatiku.” Percuma segala diskusi panjang untuk membahas itu puisi atau tidak. Kata-kata milik siapa saja. Bisa seorang penyair, bisa seorang yang baru saja patah hati. Kata-kata ada dimana-mana. Aryo mengingat ketika pertama kalinya ia menulis puisi. Ia ingat waktu itu kelas 1 smp. Ia begitu antusias ketika guru bahasa Indonesia menugaskan untuk menulis puisi. Ia menulis puisi dengan judul Doa Seorang Pengemis. Akhirnya puisi itu yang terpilih di antara sekian banyak puisi untuk ditempel di majalah dinding. Aryo bangga. Untuk pertama kalinya muncul kesadaran pada diri Aryo: kata-kata bisa begitu sakti. Sejak puisinya ditempel itu, banyak teman perempuan Aryo ingin dibuatkan puisi.
Kemarin seorang penelpon membacakan puisinya di radio. Aryo menengok ke arah Norma yang berkali-kali memberi isyarat supaya segera memotong puisi tersebut. Tapi Aryo tidak memedulikan. Ia membiarkan penelpon itu membaca puisinya hingga tuntas. Di akhir puisi, penelpon itu menangis.
“Saya berharap laki-laki itu mendengar puisi saya. Dia harus mendengar puisi saya !!.”
Aryo tercenung. Sebagian orang membuat puisi untuk dibaca sebanyak-banyak orang. Sebagian orang menulis puisi untuk khusus satu orang. Begitu fokus. Begitu sakral. Seakan puisi tersebut tidak ada relevansinya sama sekali jika dibaca oleh orang yang bukan sasaran puisi itu dibuat. Mungkin dia tidak pernah tahu apakah puisi itu sudah sampai atau belum pada orang yang ditujunya itu. Tapi puisi telanjur tercipta. Bisa saja orang tersebut akhirnya mendengar dan mengetahui puisi itu. Tapi kemudian ternyata ia tidak peduli, atau mungkin sama sekali tidak paham apa maksud puisi itu dibuat. Lalu, apa gunanya puisi kalau begitu ?
Aryo tercenung di pinggir jendela. Lalu tercipta sebuah puisi

aku suka bermain jendela.
buka tutup buka
berharap angin masuk membawa cerita
tentang tempat sembunyi sorga
yang sudah lama tenggelam
dalam kemolekan acara televisi

aku suka bermain jendela
buka tutup buka tutup
cilukba dengan bayangan sendiri
dalam bentuk yang tidak aku kenali
seakan baru kembali dari sebuah negeri
tempat segala monster dan peri

aku suka bermain jendela
buka tutup buka tutup buka
menunggu sepenggal sorga menyatu dengan diri.


Aryo kembali berpikir. Puisi itu untuk orang tertentu, untuk sebanyak-banyak orang atau --jangan-jangan—untuk dirinya sendiri. Tapi itu tidak penting. Ia tetap sebuah puisi.

Thursday, April 08, 2004

KEINGINAN SEDERHANA
Aryo terbangun dalam keadaan teringat sesuatu. Sesuatu yang merupakan keinginan sederhana, entah kapan sempat tercetus, tapi tiba-tiba pagi ini menjadi keinginan yang begitu bernafsu diwujudkan. Keinginan itu adalah bertemu dengan teman-teman SMA dan ngobrol ngalor-ngidul tentang kehidupan waktu itu tanpa menyinggung sedikit kehidupan masa kini. Keinginan sederhana karena memang tinggal angkat telpon untuk mengumpulkan semua teman SMA-nya. Tapi, di balik kesederhanaan itu terdapat kemustahilan. Tidak mungkin sepenuhnya bernostalgia tanpa sedikit pun menyerempet basa-basi tentang kehidupan sekarang. Bagi Aryo, kalau sudah membicarakan kehidupan sekarang, berarti sudah dicemari oleh rasa pamer. Si Joni pamer tentang mobil Audi terbarunya, Si Prapto dengan sedkit bercanda menyinggung sebuat proyek bernilai 500 M yang sedang ditanganinya, si Badil menceritakan kebanggaannya mempunyai anak yang bisa menjadi finalis olimpiade fisika tingkat SD.
Tidak ada yang salah dengan semua cerita itu.
Tapi Aryo tidak sedang menginginkan itu. Ia ingin sebuah perjalanan kembali ke masa lalu yang benar-benar steril.
“Listeners sekalian. Betapa absurdnya sebenarnya hidup ini. Mencari makna hidup sudah pasti hampir mustahil. Oke. Nah, sekarang, ketika kita punya keinginan sederhana pun, kok ya mustahil juga. Saya ingin bertemu dengan teman-teman SMA, ngobrol, tanpa sedikit ngomongin masa kini. Saya ingin suasana nostalgia yang steril dari keinginan untuk menonjolkan diri. 9 dari 10 orang yang mendengarkan acara ini pasti menganggap keinginan saya ini mustahil. Orang tak bisa ditahan untuk tidak membicarakan keberhasilan dirinya sendiri. Oke, mari kita sharing. Adakah di antara anda yang mempunyai keinginan sederhana tapi ternyata nyaris mustahil.”
Aryo meminum kopi sambil menunggu telpon. Di hadapannya terlihat Norma dengan make up yang tampak lain. Norma benar-benar menggunakan make up yang lain ataukah Aryo melihat secara lain.
"Kamu punya keinginan sederhana apa Nor ?"
"Apa mas ?"
"Topik kita kan keinginan sederhana yang nyaris mustahil. Kamu punya keinginan apa yang menurut kamu nyaris mustahil untuk diwujudkan ?"
"Menjadi penyiar !"
"Menjadi penyiar ? Maksudmu ?"
"Iya. menjadi penyiar. Saya ingin menjadi penyiar walau cuma sehari."
"Oke. Sekarang kamu duduk di sini, aku duduk di tempat kamu."
"Ah mas bercanda."
"Lho saya serius !"
"Jangan-jangan. Nggak jadi mas."
"Udah terlambat. Kamu harus duduk di sini sekarang. Saya ingin buktiin bahwa keinginan kamu itu nggak mustahil."

Norma melihat Aryo yang tampak serius. Aryo berdiri dan melangkah ke tempat Norma. Norma dengan ragu-ragu juga berdiri dan melangkah menuju tempat Aryo. Mereka ganti posisi.

“Lis…listeners…. sekalian. Perkenalkan saya Norma…….

Norma tersedak. Ia merasa pilihan kata-katanya sangat norak. Ia menoleh kea rah Aryo. Aryo sama sekali tidak peduli.

"Baik. Saya akan menerima telpon dari anda. Ceritakan saja apa keinginan anda yang anda anggap mustahil itu. Siapa tahu ternyata nggak se-mustahil yang anda sangka."

Telpon berdering.
"Ya Halo. Silakan langsung saja."
"Gue Leman. Gue nggak tahu ini keinginan sederhana ato nggak. Menurut gue sih sederhana, tapi kok ya mustahil banget kayaknya. Gue suka lari sore di senayan. Gue sering banget lihat Cornelia Agatha juga lari. Gue Cuma pingin lari persis di sebelah dia lalu sesekali ngobrol "capek lu ye" "kayaknya lu agak kurusan deh" "gue suka banget akting lu di film x". Nah sederhana kan. Tapi sampai sekarang gue cuma bisa ngeliat dia tanpa action bo."

Telpon berdering lagi. Begini komentarnya:
"Keinginan Leman itu mah nggak mustahil. Si Leman-nya aja yang nggak pede. Apa susahnya lari deket dia persis lalu sok akrab ngobrol ama dia. Paling-paling juga dicuekin. Nah, keinginan aku ini baru bisa dibilang mustahil. Aku ingin menyenangkan mama aku. Dia sudah tua. Aku berusaha membelikan cincin, kalung atau makanan enak. Tapi Mama aku selalu melempar semua pemberian aku. Aku terlalu dibencinya. Tak ada satu pun pemberian atau tindakan aku yang bisa membuat dia senang karena semua bagian dari diriku adalah sesuatu yang dibencinya. Aku Cuma berharap dia mau menerima salah satu pemberian aku. Itu sudah cukup. Aku tak berharap muluk-muluk supaya mama mau mencintai aku.….."

Telpon terputus. Norma juga terpana. Ia menoleh ke Aryo yang masih pura-pura menunduk dan tidak peduli.

"Listeners, keinginan sederhana yang mustahil. Ahhhh… betapa absurd. Kenapa masih disebut sederhana kalau mustahil ? Saya protes sama Mas Aryo. Keinginan ya keinginan. Nggak perlu disebut sederhana atau nggak sederhana. Saya ingin jadi penyiar. adalah keinginan dan ternyata tidak mustahil. Leman ingin lari bareng Cornelia dan ternyata sulit banget untuk mewujudkannnya padahal Cornelia sudah di depan mata. Penelpon satunya lagi ingin sekadar mamanya mau menerima pemberian dia (Norma menarik napas) dan ternyata itu begitu mustahil karena kebencian mama. Manusia selalu punya keinginan. Dan ketika kita tidak mampu memenuhi keinginan itu --yang mungkin kelihatan sederhana, sepele dan tidak ada artinya-- maka lengkaplah kita sebagai makhluk yang tidak berdaya. Di situlah letak absurd yang sesungguhnya."

Aryo melihat ke arah Norma. Kali ini Norma yang pura-pura menunduk dan tidak peduli. Padahal hatinya sedang bergemuruh.


Tuesday, April 06, 2004

SAKIT
Aryo baru sembuh dari sakit. Sudah lama tidak hadir di studio. Ada yang sangat dirindukan. Cuap-cuap di depan corong. Bisa membicarakan apa saja, tentang apa saja. Mendengar berbagai komentar, yang kadang-kadang terdengar sangat bodoh. Tapi Aryo selalu menganggap itu sebagai ujian kesabaran. Bukankah itu kesabaran namanya kalau kita berusaha menahan diri untuk berkomentar apapun mendengar suatu opini yang bodoh atau bahkan salah ?
Selama sakit Aryo banyak membaca buku. Salah satunya adalah Menikmati Filsafat melalu Film-Film Science Fiction. Aryo mulanya tidak yakin buku ini bermutu. Apalagi terjemahan, tahu sendiri lah mutu terjemahan kita sering kali justru membuat kita jadi lebih pusing membacanya. Tapi berbeda dengan kasus ini. Aryo sangat menikmati. Ada beberapa poin yang masih bisa diingat. Terutama bagian mengenai determinisme. Pembahasan mengenai determinisme ini bertumpu pada film Minority Report yang cerita garis besarnya adalah usaha untuk meramalkan terjadinya kejahatan.
Kembali ke determinisme. Selama ini Aryo berpandangan bahwa determinisme adalah paham yang menerima kejadian apapun dengan kepasrahan mutlak. Ternyata jalan pikirannya bukan begitu. Determinisme mengacu pada pandangan bahwa semua hal mempunyai sebab. Segala tindakan kita pun mempunyai sebab. Oleh karena itu adalah nonsense bahwa kita memiliki “kebebasan memilih”. Tidak ada yang bebas jika semua punya sebab. Tindakan Aryo menulis tidak semata-mata karena Aryo bebas menentukan dirinya menulis atau tidak menulis. Aryo menulis ini karena ada sebab lain, misalnya Aryo merasa perlu untuk mengungkapkan sesuatu setelah sekian lama terpendam. Mungkin juga karena di dalam lubuk hati Aryo ada keyakinan untuk terus menjaga disiplin menulis. Jadi, tindakan Aryo menulis tidaklah mutlak akibat pilihan bebas dia. Sulit dipahami ? Hehehe….
Aryo kemudian beralih ke arah pilihan kawin atau tidak kawin. Benarkah seseorang punya kebebasan mutlak untuk memilih antara kawin, kawin nanti atau tidak kawin. Jika ketiga-tiganya adalah sesuatu yang disebabkan oleh sesuatu yang sebelumnya terjadi, apakah benar kita berada dalam situasi yang bebas memilih di antara ketiganya ?

This page is powered by Blogger. Isn't yours?