html> SANG PENYIAR <$BlogRSDURL$>

Monday, October 22, 2007

FLASH
Kehidupan kita adalah kumpulan adegan demi adegan yang begitu banyak. Setidaknya itu yang diyakini Pujo, salah satu pendengar radio Aryo. ”Bulan kemarin saya ditugaskan di kota M. Di hari terakhir saya sempatkan berkeliling kota dengan menggunakan taksi. Di tengah perjalanan, perut saya terasa melilit tanda penyakit maag saya mulai kambuh. Baru teringat kalau belum mengisi perut sejak pagi. Saya langsung menyuruh sopir taksi untuk berhenti di toko swalayan terdekat. Tak sampai 3 menit, sopir taksi berhenti di depan toko swalayan yang lumayan besar. Begitu masuk terlihat jajaran rak besar lebih dari 10. Saya mencari-cari rak tempat biskuit. Karena malas melihat-lihat tulisan, saya langsung dekati petugas perempuan yang sedang menata barang-barang,” mbak tempat biskuit dimana ?’ Si petugas perempuan itu langsung menjawab, ”dua rak lagi sebelah sana.” sambil menoleh. Adegan menjadi slow motion ! Rambutnya yang panjang bergerak dalam gerakan lambat. Bahkan ketika berkedip seakan-akan kelopak matanya bergerak pelan-pelan. Dia cantik. Posisinya berjongkok di atas tangga. Dengkulnya yang putih kelihatan. Kamera zoom ini. Freeze. Sekali lagi harus saya akui: dia memang cantik. Supaya tidak kelihatan norak, saya segera beranjak menuju ke tempat yang ditunjuk. Saya mengambil biskuit secepatnya. Kemudian, kembali ke tempat si perempuan itu berdiri. Kami bertemu dan berpandangan. Saya tidak tersenyum. Dia juga tidak tersenyum. Tapi kok saya merasa begitu dekat dengan dia, dan –anehnya-- saya merasa dia punya perasaan yang sama dilihat dari sorot matanya. Adegan kembali slowmotion. Pikiran saya memutar memori. Adakah seseorang yang aku kenal di masa lalu seperti dia ? Mungkinkah dia si Dini ? Ah tidak mungkin. Dia pasti lebih tua. Tapi siapa ya. Kenapa saya terkesan ? Saya pernah bertemu Luna Maya, duduk berhadapan, dia cantik tapi saya tidak terkesan. Saya melangkah menuju kasir. Saya berusaha bersikap wajar meski benak saya menimbang-nimbang: apa yang membuat saya tidak kembali ke tempat itu dan tersenyum dan menanyakan namanya ? Apakah semata-mata karena saya sudah beristri sehingga merasa tidak pantas untuk ”sedikit” menikmati momen indah itu ? Dari kasir saya kembali ke taksi. Taksi segera berangkat. Kembali muncul pertanyaan: apa yang membuat saya terkesan ? Saya sungguh penasaran dengan pertanyaan itu (lebih mengganggu ketimbang dilema antara kembali ke tempat itu atau meneruskan perjalanan). Ada ratusan bahkan ribuan perempuan cantik, kenapa terkesan dengan perempuan ini ? Adakah di masa lalu saya yang begitu kuat memberi gambaran seorang perempuan sehingga saya terkesan pada perempuan dengan tipe wajah seperti ini ? Jika memang begitu, kenapa saya sama sekali tidak ingat dengan wajah lalu yang membentuk ingatan saya ? Dari sekian jam, hari dan bulan hidup saya ada sekian detik yang membuat semua gerakan bagai pengadeganan di film. Bagi saya itu adalah momen. Mungkin sekadar flash, tidak menjadi bagian penting dari plot. Jadi, mungkin sudah benar tindakan saya untuk tidak menghampirinya . Dia hanya flash dalam hidup saya.”
Manager operasional radio mengetuk-ngetuk kaca ruang siaran sambil menunjuk-nunjuk jam tangan. Isyarat yang sangat jelas: jam siaran Aryo melampaui waktu yang telah ditetapkan.
”Listeners, Jose Mari Chan pernah bernyanyi ’beautiful girl’. Seorang perempuan cantik bias lewat di depan anda, menarik perhatian anda, dan kemudian menghilang di kerumunan. Itulah flash dalam hidup anda. Sekejab tapi tetap diperlukan.”

Monday, October 01, 2007

SI BOCAH
Di sebuah senja di ruang eksekutif, Aryo menikmati santapan berbuka puasa dengan pandangan tak lepas dari seorang bocah laki-laki usia 3 tahun. Bocah ini seperti bocah lainnya. Gembil. lucu, dan menggemaskan. Yang membedakan cuma satu: anak ini punya ayah yang kekayaannya lebih dari Rp 10 triliun ! Untuk membayangkan besarnya angka Rp 10 triliun, cukup menghitung berapa banyak emas yang bisa dibeli dengan uang sebesar itu. Jika 1 gram emas Rp 250.000. Berarti uang sebesar itu bisa membeli 40 ton emas murni. 40 ton cukup untuk membuat monas terbuat dari emas murni hingga beton dan temboknya.

Aryo berpikir: jika anak ini menyadari ayahnya sekaya itu, apa kira-kira yang akan dimintanya ? Dia akan meminta beli Dufan Ancol lengkap dengan isinya ? Atau justru, merayu ayahnya supaya menyumbangkan uang itu demi pendidikan seluruh anak Indonesia ?

Si anak gendut ini tampak sesekali menolak makanan yang disodorkan pengasuhnya. Dengan kekayaan ayahnya, dia bisa beli semua makanan kalau memang dia bosan makanan tertentu. Dia bisa beli buah kurma Rp 250.000 per biji yang dijual di Senayan City, atau minta makan di restoran Eagle - Gstaad's yang per orangnya dikenai tarif 25.000 poundsterling (atau sekitar Rp 375.000.000).

Di saat usianya 3 tahun, memang dia belum mengerti apa-apa. Mungkin sepuluh tahun lagi, dia tidak sengaja dengar dari temannya atau tak sengaja membaca daftar orang terkaya di Forbes atau tidak sengaja mendengar bahwa harga rumahnya lebih dari Rp 50 milyar. Setelah itu, dia akan melihat bahwa dia “berbeda” dengan teman-teman sebayanya. Akankah dia mulai berpikir tentang takdir: kenapa aku dipilih Tuhan untuk ditaruh di orang tua yang begitu kaya ? Ah, mana mungkin dalam kehidupan yang nyaman kita mempertanyakan takdir. Harusnya dia mendengar lewat celetekukan anak miskin, “mungkinkah takdir Tuhan sesekali tidak permanen ? supaya aku tidak terus-terusan jadi anak miskin dan kamu tidak terus-terusan jadi orang kaya ?”.

Aryo menyelesaikan makannya. Aryo tidak bernafsu menambah nasi. Pikirannya disesaki pertanyaan sederhana: Si anak kecil ini mempunyai orang tua sekaya ini karena takdir ataukah karena kapitalisme yang ditiupkan Adam Smith 300 tahun lalu ?

This page is powered by Blogger. Isn't yours?