html> SANG PENYIAR <$BlogRSDURL$>

Thursday, April 21, 2005

LADY DI
Ada kelakar yang umum di tahun 1980 an. Ketika ditanya kenapa tak kunjung menemukan calon istri, seseorang mengatakan, “saya sih nggak cari yang muluk-muluk kok, ya minimal kayak Lady Diana”. Kelakar yang lucu karena ada paradoks di dalamnya. Tidak berkeinginan muluk tapi menginginkan wanita secantik Lady Di. Lucu. Laki-laki boleh sepakat bahwa Lady Di cantik. Tapi toh dia bisa didepak oleh Pangeran Charles, dan lebih memilih seorang wanita yang sudah keriput: Camila Parker Bowles.
Cerita tentang percintaan Charles-Camilla ini dikemas dengan cukup menarik dalam Princess Camilla: Winner Takes All.
Sepanjang 1 jam dokumenter, pemirsa digiring untuk sampai pada titik ketidakmengertian kenapa Charles lebih memilih Camilla ketimbang Lady Di. Dalam kata-kata penuturnya, Bahkan seorang model top dunia pun merasa minder bila dibandingkan dengan sosok Lady Di, tapi justru sosok seperti ini yang tidak menarik minat Charles. Sempat disebut dalam dokumenter ini: itulah bukti cinta itu buta. Sebuah idiom yang berumur ribuan tahun. Tapi kita merasakan kebenaranannya hanya pada momen-momen tertentu ketika ada kejadian khusus semacam Charles-Camila ini.
“Listeners, selamat pagi, pernahkah kita merenung hubungan antara wajah dan cinta? Wajah adalah totalitas yang mewakili identitas seseorang. Kita mencintai seseorang melalui wajahnya lebih dulu. Bukan sekadar karena wajah itu indah atau tidak indah, tapi karena wajah itu mewakili identitas seseorang yang kita cintai secara khusus. Bagi pangeran Charles, wajah Lady Di dan Camilla cuma mewakili identitas. Tapi bagi orang orang wajah Lady Di dan Camila mewakili perbandingan kecantikan. Lady Di jauh lebih cantik dari Camilla. Karena itu pilihan pada Camila hanya mengarah pada kesimpulan tentang irasionalitas si Charles. Tapi bagi Charles, kualitas (cantik-jelek menurut ukuran umum) tidak ada hubungannya dengan cinta. Dia mencintai Camilla yang kebetulan diwakili oleh wajah yang keriput dan tidak menarik.”

Monday, April 04, 2005

SALING
Aryo ingat sekali waktu sma pernah punya motto: hidup cuma sekadar saling mengomentari kelemahan orang lain. Si A mengomentari betapa malasnya Si B. Sementara Si B memandang sinis si A yang menurut dia terlalu ambisius. Itu yang menjadi pertanyaan sekarang. Bisakah seseorang menjadi objektif ?
“Listeners, hidup di abad 21 tak lebih dari gemuruh opini yang berlintasan di berbagai media. Tak hanya di radio, tv atau koran. Opini yang berlimpah bisa anda temukan di internet. Anda bisa menemukan wrbsite Roy Suryo Watch. Semua opini difokuskan untuk menyelidiki kelemahan-kelemahan Roy Suryo sehingga kesimpulannya berujung pada Roy Suryo tak lebih pakar gadungan. Bukan maksud saya untuk mencermati ini sebagai kebenaran atau tidak. Tapi... ya itulah ! Hidup sekadar saling berkomentar tentang orang lain. Nah... sebenernya... bisa nggak sih kita objektif ? Terus terang, saya pribadi nggak bisa. Kalau diminta ngasih komentar tentang siapa penyiar radio yang paling hebat. Saya bilang nggak ada. Rico Ceper ..mmm... cukup lucu lah. Tapi suara dan kata-kata dia tak lebih mengisi kesunyian ketika kita nyetir. Setelah parkir, suara dan kata-kata itu tak berbekas. Putri Suhendra dari Female ? Dia lumayan inspiritatif. Berusaha cukup keras untuk menampilkan tema-tema yang variatif. Tapi kalau disuruh mengingat kata-kata apa dari dia yang paling diingat. Saya bilang ngga ada. Nah, saya juga yakin kok, penyiar radio lain juga punya opini tentang saya. Sejauh ini belum ada yang menyampaikan opini negatif langsung ke saya .. hehehe.... So, listeners, mari kita berkutat dengan pertanyaan: bisakah kita objektif ? Opini apapun langsung saja kamu sampaikan ke 0811....... “
Aryo memutar lagu. Pandangannya mengarah luar ruang siaran. Beberapa orang bersliweran. Dengan cepat Aryo bisa berkomentar dengan orang-orang ini. Dan kebanyakan komentar negatif. Kenapa kita begitu otomatis untuk memberikan opini yang negatif ?
Telpon berdering.
Seorang pendengar mengaku bernama Donna.
“Gue juga ngerasa nggak bisa obyektip. Gue adalah penulis skenario. Gue seringkali marah-marah sendirian kalau ngeliat penulis-penulis macam begini yang bisa kaya. Bayangin, mereka bisa nulis skenario satu episode dalam satu hari ! Gue termasuk bisa nulis cepat, tapi nggak bisalah satu hari satu episode. Tapi kenyataannya ada penulis-penulis yang bisa. Sebulan dia bisa ngasilin 10 episode. Gile nggak. Kalo satu episode dibayar 5 juta. Minimal sebulan dia dapat 50 jeti bo. Gue bukan ngiri dia dapet segitu, atau ngiri dia udah pake BMW. Tapi janganlah media terlalu ngebesar-besarin seakan dia penulis skenario yang paling berjasa buat persinetronan indonesia.”
“terus poin kamu sebenarnya apa ?”
“Gue cuma mau bilang. Gue mungkin nggak objektif. Tapi media jangan ikut-ikutan nggak objektif dong. Seharusnya udah jelas kelihatan mana penulis yang mentingin kualitas dan mana yang cuma mau duitnya aja.”
“Oke. Makasih atas masukannya. Yang jelas kamu juga bagian dari bukti bahwa hidup memang cuma sekadar saling mengomentari. hehehe....”

This page is powered by Blogger. Isn't yours?