html> SANG PENYIAR <$BlogRSDURL$>

Monday, February 28, 2005

SHALL WE DANCE
Sebuah ketidaksengajaan yang menyenangkan. Aryo berniat nonton Constantine tapi karena jam pertunjukan sudah terlewat, ia menonton Shall We Dance. Tidak menyangka, Aryo menemukan kegairahan baru. Setelah sekian lama, akhirnya muncul lagi film hollywood semacam Sleepless In Seattle: sederhana, lucu, mengharukan dan sama sekali tidak mengekspos seks. Seperti halnya Sleepless in Seattle, Shall We Dance sepanjang pertunjukan tidak ada adegan ciuman. Penonton sama sekal tidak diberi ruang untuk berprasangka John Clark(Richard Gere) tertarik atau berselingkuh dengan Paulina (Jennifer Lopez). Richard menjadi sosok yang sangat sopan, biasa dan begitu lurus. Sepanjang perkawinan lebih dari 10 tahun, ia masih merasa istrinya sebagai sumber kebahagiaan. Dan, penonton diajak melihat istrinya, Beverly (Susan Sarandon) yang meskipun mungkin waktu muda cantik tapi sekarang terlihat jelas proses penuaannya.
Film bagaimana pun adalah impian. Menjadi tugas film untuk membuat impian itu menjadi realistis mungkin. Sosok John yang lurus meski punya pesona kuat (Richard Gere gitu lo) terkesan sangat riel. Cerita yang berakhir happy ending juga terkesan riel. Karena riel itulah film ini jadi mengharukan.
Satu-satunya ‘dosa’ John adalah merahasiakan aktivitasnya mengikuti kursus dansa. Di akhir cerita, John mengungkapkan alasannya merahasiakan aktivitasnya itu.
“Aku merasa bahagia karena kamu sekian lama merasa sangat bahagia bersamaku. Aku...tidak bisa memaafkan diriku ... jika kamu sampai tahu ada secuil ruang hatiku yang merasa tidak bahagia. Karena itu aku merahasiakannnya.”
John mengisi secuil ruang kosong itu dengan belajar dansa. Ia menemukan kegairahan. Ia mendapatkan kebahagian yang komplit. Dan, ia tetap menganggap istrinya sebagai sumber kebahagian. Impian sekali !!! Tapi yang penting: penonton percaya dan pulang dengan bahagia juga.

Friday, February 25, 2005

TEMAN & UANG
Mari bercerita tentang seorang teman. Aryo mengenalnya sejak SMA. Dia tipe yang aktif. Tidak terlalu pintar, tidak terlalu lucu, wajah biasa saja, tapi punya banyak teman. Ia aktif di OSIS dan kegiatan ekstrakurikuler. Tapi ia bukan tipe gaul. Gaul di sini boleh lah diartikan sebagai aktivitas keluyuran khas anak muda.
Aryo bersahabat dengannya sejak SMA. Sampai kuliah pun ia masih sering kontak. Ia kuliah di STAN . Sebuah sekolah yang menjamin lulusannya mendapatkan ikatan dinas di departemen keuangan, khususnya kantor pajak. Setelah lulus dan ditempatkan di kantor pajak daerah Jawa Tengah, Aryo jarang lagi kontak dengan dia. Sepuluh tahun setelah itu Aryo bertemu lagi dengan dia. Gayanya masih seperti dulu. Yang membedakkan cuma apa yang dikenakannya. Sepatu Bally dan jam tangan Rolex. Dan, istrinya sudah dua. Rumahnya empat. Ia bercerita berharap menambah satu rumah lagi karena –menurutnya—ia punya kewajiban memberi setiap anaknya satu rumah. Maklum, anaknya sekarang sudah 5 ekor --eh sori—5 orang.
Aryo ingat dulu ia sering bersaing dengan temannya dalam banyak hal. Kadang soal cewek, kadang soal pengalaman bergaul dengan orang-orang penting. Tapi kini Aryo malas membanggakan apapun. Ia seakan kehilangan selera sama sekali untuk bersaing. Ia membiarkan temannya bercerita macam-macam. Tentang rumah, tentang wanita-wanita yang selama ini dekat dengan dirinya, tentang dua usaha rental mobil yang dimilikinya, tentang beberapa perusahaan yang menawarinya dengan gaji tinggi tapi ia tidak tertarik dan tetap menjadi pegawai negeri.
Satu hal yang dipikirkan Aryo: Korupsi. Tidak mungkin melepaskan kata itu dari diri dia. Sempat terpikir oleh Aryo untuk bilang: “Plis deh. Kalau pingin kaya ya janganlah jadi pegawai negeri !” Tapi kata itu tidak pernah diucapkan. Aryo tetap bersikap sebagaimana layaknya teman. Tapi Aryo juga sekaligus sedih. Orang yang dulu waktu SMA sangat menghindari rokok, alkohol dan pergaulan nggak karuan toh akhirnya tidak lebih seorang pencuri. Bukankah indikasi korupsi begitu meluas adalah banyaknya orang yang kita kenal yang melakukan korupsi ? Korupsi sudah menjadi begitu wajar. Lagi-lagi kenyataan ini membuat Aryo sedih.
Aryo membuka lemari. Dia mengeluarkan selembar giro bernilai Rp 15 juta. Tanggal di giro itu sudah dua bulan lalu. Seseorang memberikan giro itu tanpa meminta apa-apa, sekadar sebagai “bagian dari pertemanan”. Aryo tidak mencairkan bukan karena tidak butuh uang. Tapi Aryo memang tidak percaya “easy money”. Tidak mau terima uang gampang apakah berarti tidak akan terima uang apapun dalam bentuk hadiah ? Entahlah. Aryo tidak bisa menjawab sekarang. Iming-iming bukan sekadar jumlah uang yang besar. Iming-iming itu juga datang dari begitu cueknya orang-orang di sekitar kita atas tindakan koruptif kita.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?