html> SANG PENYIAR <$BlogRSDURL$>

Thursday, December 18, 2008

ORANG PENTING
Ada 3 orang berdebat tentang arti orang penting. Si A berpendapat “orang penting itu jika kamu dapat telpon dari menteri sekretaris Negara dan dia bilang Presiden ingin ketemu kamu secara pribadi.” Si B tidak mau kalah, ”Orang penting itu jika telpon kamu berdering dan di seberang sana ternyata presiden. Presiden memohon-mohon kepada kamu supaya tidak kemana-mana karena presiden ingin berkunjung ke rumahmu.” Si C yang dari tadi diam akhirnya berkomentar: ”Orang penting itu jika telpon di meja kerja Presiden berdering. Presiden mengangkat dan mendengarkan dengan takzim kemudian menghampiri Anda sambil mengatakan: Silakan pak. Telponnya untuk Bapak.”
Anekdot itu yang diingat Aryo ketika kemarin hadir di pagelaran seni yang diadakan sebuah perusahaan papan atas . Selalu ada kursi untuk VVIP dan VIP. VVIP terbagi beberapa level. VVIP yang paling top cuma sederet. Di deretan inilah si pemilik perusahaan duduk. Posisinya di tengah. Di sampingnya persis ada kursi yang diberi stiker dengan tulisan ”MENTERI”. Di sampingnya lagi adalah kursi yang disediakan untuk tokoh partai yang sedang berkuasa. Di deretan belakang masih VVIP, namun tingkatannya adalah para direksi. Direksi dari perusahaan sendiri maupun perusahaan lain.

VIP itu singkatanya very importan person tapi dalam pengaturan kursi seperti ini, mereka bukan orang penting-penting amat.. Orang yang duduk di kursi VIP harus siap dipindahkan ke tribun jika memang terlalu penuh. Sebagian kursi VIP juga diberi stiker bertuliskan ”Reserved”. Artinya, orang VIP harus siap diusir jika ada orang VVIP yang tidak kebagian kursi.

Pintu terbuka. Para tamu mulai berdatangan. Seberapa penting tamu menganggap dirinya bisa dilihat dari reaksi mereka terhadap kursi yang disediakan untuk mereka.

“Saya pegang undangan VIP. Saya kenal dengan pemilik perusahaan ini. Kenapa anda taruh saya di kursi paling pojok begini. Itu kursi-kursi kosong buat siapa ?!!!”
”Apa gunanya saya dikasih undangan VIP kalau akhirnya duduk di tribun juga. Anda tahu saya siapa ?!!!”
”Oooo sudah penuh ya mas ? Jadi saya harus duduk di belakang ? Ooo nggak papa.”
”Saya ini wartawan !!! Saya akan tuils besar-besar di harian saya, perusahaan ini ternyata sama sekali nggak profesional.”

Sebagian tamu bahkan bisa lebih nekat. Sepasang tamu berpakain sangat parlente dan anggun memegang undangan VIP. Keduanya sudah diarahkan untuk duduk di kursi VIP, tapi tamu ini rupanya punya persepsi lain: kami adalah tamu yang sangat-sangat penting. Jadilah dua orang ini melangkah ke area VVIP dan duduk di kursi yang jelas-jelas bertuliskan ”menteri”. Mereka duduk tenang tanpa ada satu pun garis risih di ekspresi wajah mereka.

Si pemilik perusahaan datang dan heran melihat ada orang yang tidak dikenal duduk di kursi sebelahnya. Siapa ini orang yang merasa begitu penting sehingga tidak peduli dengan tulisan di tempat duduk itu. ? Si pemilik perusahaan memutuskan untuk tidak mengusik ketenangan dua tamu tak tahu diri ini. Bukan karena kalah kuasa. Tapi, karena ingat pemeo: orang waras harus ngalah (pada orang gila).

Hingga akhirnya menteri benar-benar datang. Panitia kelabakan Semua kursi sudah terisi penuh. Dengan tenang pemilik perusahaan mempersilakan menteri duduk di kursinya. Si pemilik perusahaan minta ijin untuk duduk di belakangnya. Menteri merasa aneh tapi kemudian situasinya menjadi jelas ketika melirik sebelah kirinya. Dia pun tidak kenal pada ”orang penting” ini

Aryo tersenyum.
Aryo duduk di tribun. Bukan kursi terhormat tapi memberi keuntungan untuk melihat secara menyeluruh tentang persaingan orang-orang untuk dianggap sebagai orang penting. Dari atas pula Aryo melihat seorang rektor sebuah universitas dengan santainya duduk di anak tangga karena semua kursi sudah terisi. Aryo kenal baik rektor ini. Dia pernah mewawancarainya. Beberapa kali karya bukunya mendapatkan penghargaan terhormat di luar negeri.

Seorang panitia yang mengenalinya buru-buru mempersilakan pak rektor untuk pindah ke kursi VVIP. ”Terima kasih dik. Saya bisa nonton dengan cukup nyaman dari sini. Nggak apa-apa.”. Si panitia tidak berhasil membujuk pak rektor untuk pindah. Tak disangka, si pemilik perusahaan melihat si rektor itu. Si pemilik perusahaan langsung berdiri dan menghampiri rektor itu. Tampak si pemilik perusahaan itu berbicara dengan takzim kepada rektor. Si rektor membalasnya dengan sikap yang tak kalah santun. Akhirnya, pak rektor mengangguk. Tampaknya si pemilik perusahaan berhasil membujuk si rektor untuk pindah dari tempat itu. Si pemilik perusahaan mengarahkan pak rektor pada podium utama di atas panggung.. Acara pun dimulai secara resmi. Di atas podium, si pemilik perusahaan mengawali sambutannya. ”Seluruh kemegahan dan keagungan yang ada dalam pagelaran seni ini saya persembahkan pada Pak Wicaksono yang mengajarkan kerendahan hati sepanjang hidupnya.”
Mata si pemilik perusahaan berkaca-kaca sambil menatap pak rektor dengan penuh rasa hormat. Para undangan berdiri dan memberikan aplaus bergemuruh.
Dua orang tamu yang duduk di kursi yang bertuliskan stiker ”menteri” itu tetap duduk tenang sambil mengunyah kacang.

Saturday, December 13, 2008

Menangis

You are what you wear.  Terlalu sering kita mendengar itu. Entah di seminar pemasaran atau dari seorang atasan yang menganggap sangat penting pergi bekerja mengenakan dasi.  You are what you read.  Sesekali kita mendengar itu ketika seseorang ingin pamer bahwa dia memang banyak membaca. You are what cry for.  Pernah dengar ?    Aryo menjamin anda tidak pernah mendengar itu.  “Listeners, kemarin, bulan lalu,  sepuluh tahun lalu, atau mungkin beberapa detik lalu,  anda menangis.  Untuk apakah anda menangis ?  atau kata lain,  atas alasan apakah anda menangis ? menangisnya Anda sekadar naluri primitif ketika ada sesuatu yang menyakiti anda ataukah anda mewakili cita-cita universal yang bisa menangisi penderitaan manusia di  belahan dunia lain ?  silakan telpon ke sini. Saya ingin tahu siapa anda dari apa yang membuat anda menangis.”

Sebuah lagu diputar.  Suara jadul Simon & Garfunkel  mengalun “when you weary, feeling small. When tears are in your eyes, I will dry them all. I am on your side when time get rough. And friend just can be found…..”

Telpon segera berdering.  Di seberang ada Mario, 25 tahun, pekerja ambisius di perusahaan broker saham.

“saya selalu nangis dengerin lagu garfunkel itu.  Sekarang pun saya nangis .  Rasanya gimana gitu. Lagu itu seakan bener-bener keluar dari hati seorang teman. Tulus. Kalo inget itu langsung inget kalo saya gak punya temen seperti itu. Dan itu otomatis memicu kesadaran bahwa saya kesepian.  Itu membuat saya nangis lagi.”

Berikutnya, Om William, 65 th, pensiunan.

“Saya menangis setiap ketemu pejabat pemerintahan. Kenapa di otak mereka cuma ada duit duit duit.  Sama sekali ndak ada sedikit pun niat berbuat sesuatu membangun negeri. Kata membangun  mungkin terlalu muluk. Mereka ndak ada sedikit pun niat selain memperkaya diri sendiri.  Sudah jelas-jelas proyek pengelolaan sampah yang disampaikan pemerintah jerman itu gratis dan bermanfaat  malah ditolak pemda karena  ndak  ngasih duit buat pemda. Sepertinya saya akan terus menangis dalam waktu cukup lama.”

Suara Om William terkesan berat. Bukan karena warna suara tapi berat oleh keprihatinan. Aryo tidak jelas proyek pengelolaan sampah mana yang dimaksud Om William.

Setelah itu, Ratih 35 th, aktivis LSM.

“Gue menangis setiap kali melihat tas dan jaket dari kulit buaya dan ular. Bukan karena  gue  sayang banget ama buaya dan ular. Tapi semata-mata menyesali sikap orang-orang yang tolol. Buaya dan ular dibunuh cuma untuk diambil kulitnya.  Mereka nggak sadar akibat tindakannya itu, ekosistem bisa rusak.  Ekosistem rusak, lingkungan pun jadi rusak.  Mungkin mereka tahu, tapi nggak peduli.  Gimana gue nggak lebih nangis lagi.” 

Aryo tidak ingin mengambil kesimpulan apa-apa dari semua komentar pendengarnya ini.  You  are what you cry for. Aryo akhir-akhir ini merasa sering seperti terdesak perasaannya untuk  menangis.  Apa yang dia sedihkan ?  Tidak tahu.   Apa yang menjadi keprihatiannya ?  Tidak jelas.  Begitu saja muncul perasaan ingin menangis. Mungkin saja untuk kasus ini menangis cuma sekadar reaksi kimia.  Reaksi kimia terhadap cuaca mendung, jalanan macet tiap hari dan menjelang akhir tahun yang nyaris tak menyiratkan harapan di tahun 2009.  Anggap saja seperti itu.  Jadi,  bagaimana karakter Aryo jika  alasan menangisnya seperti itu ?

 

 

 


This page is powered by Blogger. Isn't yours?