html> SANG PENYIAR <$BlogRSDURL$>

Monday, August 29, 2005

ADA
Pertanyaan filsafat yang paling dasar berkaitan dengan eksistensi. Apa yang membuat diri kita ‘ada’ ? Rene Descartes punya rumusan terkenal : cogito ergo sum. Aku berpikir maka aku ada. Penjelasannya begini -- maaf-maaf nih kalau agak-agak tidak bener, maklum bukan lulusan filsafat-- apapun yang menyebabkan ‘aku’ ada bisa diragukan kesahihannya. Karena itu satu-satunya tanda bahwa ‘aku’ ada adalah karena ‘aku’ berpikir. Jika ‘aku’ berpikir tentang ‘aku’ atau tentang yang lain itu pertanda bahwa ‘aku’ ada. Rumit ? Ya memang. Karena itu Aryo tidak masuk fakultas filsafat. Orang yang masuk filsafat cukup Oneng sajalah (sori Rike).
Aryo merasa perlu membicarakan ada ini ketika di internet ramai membicarakan kematian Sha yang misterius. Intinya, seseorang yang mengaku bernama Sha itu sebenarnya ada atau tidak ? Atau hanya sekadar orang iseng --atau serius—yang memunculkan dan menciptakan tokoh Sha ?
Cerita yang lebih sensasional terjadi pada diri Felicia, seorang mantan penyiar radio Delta-Jakarta, bulan Juli 2005. Cerita dimulai dari sebuah karakter bernama Bhima. Pengusaha ganteng berkantor di sebuah gedung di jalan sudirman Jakarta. Dia pendengar setia Radio Delta sekaligus ikut milis Idakrisnashow. Bhima sering mengirim makanan ke Radio Delta. Bahkan parfum. Pokoknya royal. Pada tanggal 3 Juli tiba-tiba keanggotaan Bhima di milis terblokir. Bhima protes. Akhirnya telpon Bhima disambungkan dengan Wita yang bertanggungjawab terhadap milis itu. Wita curiga ada yang tidak beres. Ia kemudian menghubungi Felicia , mantan penyiar Radio Delta yang pindah ke radio pemerintah. Dari komunikasi Wita dan Felicia ini terbongkarlah identitas Bhima. Bhima adalah orang yang sama yang mengaku bernama Miguel di hadapan Felicia. Si Miguel ini mampu membuat Felicia bersedia menikah meski tidak pernah bertemu (perkenalan dimulai sejak maret 2004 hingga setahun kemudian Miguel memberi cincin kawin !) Yang mengagetkan: orang yang mengaku sebagai Bhima sekaligus Miguel ini adalah seorang perempuan berusia 64 bernama Sylvia Ethe ! Kepada Felicia, Miguel memerankan seorang laki-laki yang bijaksana, pintar dan penuh pengertian.

Di mata Felicia, Miguel ‘ada’ sampai akhirnya samarannya terbongkar. Ada dan tidak ada di sini bukan urusan filsafat. Miguel menjadi ada karena otak Felicia merangkai berbagai informasi yang diberikan Sylvia mengenai karakter Miguel. Untuk menjadi ada, Miguel tidak harus berdiri secara riel di depan Felicia. Felicia menganggap Miguel ada meski tidak pernah bertemu. Berbagai informasi, mulai dari sms bertubi-tubi, kiriman hadiah, suara sampai cincin kawin, terlalu kuat untuk dianggap bohong mengenai keber-ada-an Miguel. Karena itulah bahkan Felicia bersedia diajak kawin.
Oh Felicia.
Aryo merenung. Dirinya adakah ?

Monday, August 15, 2005

MEMBERI
Menjelang 17 Agustus. Ada baiknya kita bicara tentang ‘indonesia’. Apalagi hari ini cukup bersejarah karena terjadi penandatangan nota kesepahaman antara RI dan GAM. Tapi apakah ini keberhasilan ? Masih mungkinkah ini disebut keberhasilan jika kita memberi konsesi begitu besar pada GAM (bayangkan, GAM mendapatkan 70% dari hasil perekonomian Aceh) ?
Jika ini bukan keberhasilan, keberhasilan apa yang bisa disebut sepanjang 60 tahun Indonesia merdeka ? . Jadi ingat karikatur Sukribo di KOMPAS “60 tahun jadi negara merdeka, panjat pinang hadiahnya tetap saja ember !!!”
Aryo duduk memandangi mic. Alangkah enaknya jadi anak-anak. Peringatan kemerdekaan tak lebih karnaval dengan kostum warna-warni. Tidak dipusingkan dengan naiknya harga minyak mentah, utang luar negeri, angka kriminalitas yang meningkat, korupsi yang makin dimaklumi eksistensinya, atau apapun namanya. Sampai sekarang pun masih ada karnaval. Masih ada lomba krupuk dan panjat pinangJadi, apa pedulinya sekarang ulang tahun yang ke 60, 45 atau 70 tahun.? Di ulang tahun ke berapa pun lomba krupuk dan panjat pinang dijamin tetap ada.
Aryo masih memandangi mic. Jika dia diberi kesempatan untuk bicara --sebagai satu-satunya kesempatan bicara tentang ‘indonesia’-- masalah apa yang ingin dia sampaikan ? “Listeners, masih ada nggak sih yang sedih ketika ada berita Pertamina rugi sekian trilyun akibat korupsi ? Masih ada nggak yang trenyuh ketika ada sebuah daerah yang selama 60 tahun sama sekali belum tersentuh pembangunan ? Masih ada nggak yang meneteskan air mata mendengar ada direktur BUMN menolak menerima mobil dinas dan memilih naik angkutan umum (atau justru mengatainya goblok) ? Listeners, selama anda bisa mendengar siaran saya, saya anggap anda termasuk sebagian orang indonesia yang masih bisa menikmati sedikit kemewahan kelas menengah. Saya mengajak anda semua untuk terlibat aktif dalam Gerakan Memberi Setiap Hari. Anda mau menyisihkan Rp 500 perak, boleh anda berikan pada pengamen jalanan. Tolong jangan berpikir apakah pemberian itu berakibat positif atau negatif pada si pengamen, memberi ya memberi. Kalau anda menolak memberi uang, berilah perhatian. Ajak si pengamen makan malam bersama di restoran, tanya mengenai keluarganya, kapan terakhir masuk sekolah. Setiap hari memberi. Kalau anda benar-benar ingin terlibat, tolong catat itu di agenda. Hari ini memberi apa kepada siapa, besok memberi apa kepada siapa. Terserah kalau ada yang menganggap ini ide konyol. Persetan dengan idiom: berilah kail, jangan ikan. Terserah anda mau memberi kail atau ikan. Dua-duanya berguna. Listeners, jangan gunakan rasio dalam memberi. Rasio hanya membuat Anda menunda memberi. Rasio punya banyak alasan untuk mencegah seseorang memberi. Listeners..... selamat memberi. Merdeka !”
Aryo menarik napas lega. Kata-katanya tadi adalah peresmian Gerakan Memberi Setiap Hari untuk dirinya sendiri. Nanti sore dia menyisihkan uang Rp. 20.000 untuk mengganti kran air yang sudah rusak di musholla sebelah rumahnya. Besoknya lagi mengumpulkan majalah-majalah bekas untuk taman bacaan di TPA Bantar Gebang. Besoknya lagi.....

Tuesday, August 02, 2005

MENUNDA
Kekuatan negatif paling besar dari setiap orang adalah menunda. Setiap orang seakan dilahirkan dengan kutukan menjadi makhluk penunda. Kita suka menunda berbagai hal. Sehingga bisa disederhanakan, orang yang sukses adalah orang yang berhasil mengatasi kutukannya itu. Benar yang dikatakan Mario Teguh, semakin lama kita menunda semakin berat yang harus kita “cicil” untuk sampai pada target tertentu. Paham ? Maksudnya begini, kalau kita punya target mengumpulkan uang Rp 100 juta tahun depan dengan asumsi bekerja mulai sekarang maka target kita tiap hari mengumpulkan uang Rp. 273.972. Bayangkan kalau kita mesti menunda pekerjaan hingga bulan depan, berarti tiap hari yang harus kita “cicil” menjadi 298.507. Lebih besar kan. Tapi pertanyaannya apakah hidup harus matematis seperti itu ? Harus ! Buat orang yang anti-materialisme (ini sebenarnya terminologi yang aneh, tapi tak apa-apa lah untuk sementara dianggap sebagai paham yang tidak mau mengaitkan semua perilakunya dengan pencapaian materi) pun, dia harus menghitung berapa waktu yang dia miliki setiap hari. Apakah waktu itu cukup untuk membuat kita merasa bermakna ? Bagaimana bisa merasa bermakna kalau tidur saja kita perlu 8 jam sehari ? Sebagai penulis, bagaimana bisa bermakna jika cerpen saja mesti diselesaikan lebih dari satu tahun ?
“Listeners, saya baru saja melihat pak Ogah. Dia berdiri di tengah persimpangan jalan. Badannya kekar, pakaian cukup trendi, tampang lumayan lah dengan senyum cukup ramah. Dia mengatur lalu lalang kendaraan yang sebenarnya sudah lancar. Bisa dianggap dia cari perhatian kalau dia berdiri di sana cuma satu kali saja, tapi ini tiap hari ! Selama 2 minggu saya melihat laki-laki ini tanpa absen. Luar biasa ! Luar biasa karena dia sangat konsisten. Tapi paradoksnya, dia juga luar biasa melakukan sesuatu dengan bergairah (minimal terlihat dari tampangnya yang selalu tersenyum) meski orang lain memandangnya sebagai pekerjaan yang tidak ada gunanya. Ini ada kaitannya dengan tema ‘menunda’ karena menuru saya laki-laki tersebut menunda melakukan sesuatu yang lebih penting dengan melakukan sesuatu paling gampang yang bisa dia lakukan. Gampang karena dia tidak perlu berpikir. Nah, itu satu lagi yang dia tunda, berpikir mengenai pekerjaan yang bisa membuat dia bertambah baik setiap hari. Maaf kalau kata-kata saya terdengar terlalu merendahkan. Tapi, silakan kalau anda punya komentar berbeda. Terutama komentar yang menganggap bahwa yang dilakukan laki-laki itu cukup penting dan bermakna. Telpon aja kemari. Oke ????”
Aryo memutar lagu. Alih-alih berpikir keras mengenai kemungkinan apa yang dilakukan laki-laki itu mengagumkan, Aryo mengangkat kaki di atas meja sambil mengunyah buah lengkeh.
Lagu ke-6 terputar. Tapi telpon tidak berdering.
Mmmmm..... apakah itu berarti apa yang dilakukan laki-laki itu tidak bermakna ? Ups, mungkin kalimat yang lebih tepat, apakah itu menunjukkan hampir semua orang sulit melihat makna yang terkandung dari pekerjaan laki-laki tersebut ?
Tapi.... jangan-jangan apa yang dilakukan Aryo memikirkan penting-atau-tidak pekerjaan seseorang termasuk sejenis penundaan dari upaya berpikir yang lebih penting .... hehehe.....

This page is powered by Blogger. Isn't yours?