html> SANG PENYIAR <$BlogRSDURL$>

Monday, March 15, 2004

KENANGAN
Terbuat dari apakah kenangan. Begitu judul salah satu cerpen Seno Gumirro Ajidarma. Maksudnya, mengapa kenangan itu begitu hebatnya sehingga orang bisa tergugah, menangis, emosional atau bahkan dengan sengaja mengejar kenangan yang selalu ada di otaknya. Jangan-jangan kenangan memang bukan sebuah kombinasi bahan kimia, tapi organisma hidup ! Organisma ini dimulai dari sebuah peristiwa. Ia mengendap dalam memori beberapa saat, lalu tumbuhlah ia menjadi sebuah organisma baru. Setiap organisma ini terus-menerus menggeliat. Sebagian geliatnya bisa mendesak dan menyakiti. Ia menyenggol pipa kesedihan dan tumpahlah air mata. Tapi, di lain waktu ia mendobrak tong keriaan sehingga berhamburan rasa bahagia.

Aryo terganggu dengan masalah kenangan ini. "Listeners,  adakah kenangan yang begitu kuat menyentak anda laksana belut listrik,  menyengat anda begitu sakit seperti  sengatan kalajengking ?"

Seorang laki-laki umur 36 tahun menyuarakan pendapatnya.
"Kenangan yang menyengat adalah kenangan tentang perempuan bernama Sandra. Saya sudah berjanji dalam hati  tak akan pernah menghubungi dia. Sandra sudah menikah. Apapun kondisi pernikahannya, seharusnya saya bisa menahan diri untuk tidak menghubungi Sandra. Tapi, kenangan tentang Sandra adalah organisma hidup yang tak pernah kehabisan napas untuk menggeliat-geliat. Kali ini geliatnya begitu hebat. Terbayang wajahnya. Terbayang air matanya. Terbayang betapa sampai detik ini ia masih mengkhawatirkan saya. ?"

Tapi sayangnya –atau untungnya-- rute perjalanan organisma kenangan ini tidak pernah kita ketahui. Selalu menjadi unsur tak terduga. Bahkan ketika kita berniat mengingat kenangan, kita pun tak tahu mengapa kita begitu ingin mengingat kenangan. Kali ini rute organisma itu melewati ruangan hampa dalam dirinya.

Di bagian lain dirinya, ada yang sok kritis: semua kenangan itu kan semu ? Peduli amat. Bukankah kita hidup selama ini cuma bertopang pada berbagai hal semu yang jadi satu ? 
"Listeners, mari kita mengheningkan cipta. Kosongkan pikiran. Biarkan satu kenangan hinggap dalam tempurung kepala kita. Jangan memilih, jangan menyeleksi. Biarkan saja. Akan ada banyak wajah dan nama yang berkelebat. Tapi, pasti cuma satu yang paling sering dan lama. Lalu, fokuslah pada nama dan wajah itu. Setelah itu, cobalah menjawab pertanyaan: terbuat dari apakah kenangan ?"


Wednesday, March 03, 2004

BENAR
Giliran hari ini adalah kata berawalan huruf 'b'. Otak langsung merujuk ke kata BENAR. Kata ini begitu ajaib sehingga mengikuti hampir sepanjang hidup setiap orang dengan tahapan evolusi yang cukup unik. Saat balita, 'benar' menjadi sesuatu yang sangat sederhana. Kita cuma berkaca dari reaksi orang-orang di sekitar kita. benar atau salahnya kita mengucapkan kata ‘mama’ bisa dilihat dari reaksi orang-orang sekitar kita. Kalau salah, mereka tersenyum dan menyemangati. Ketika benar, mereka tetap tersenyum dan bersorak.
Beberapa tahun kemudian, kita belajar mengenai 'benar' yang lain. Benar sekarang menjadi lebih eksak. Kita belajar satu tambah satu sama dengan dua. Kita mulai mendapatkan reaksi yang tidak menyenangkan kalau kita berani-berani ngotot bahwa satu tambah satu adalah tiga, apalagi seribu.
Tahap berikutnya, benar dan salah menjadi sedikit lebih rumit. Kita mulai melihat ada sesuatu yang tidak benar di keluarga kita, tapi benar di keluarga lain. Kita tidak boleh menonton tv setelah jam tujuh malam, tapi si Badrun dengan enaknya bisa menonton hingga jam 12. Badrun boleh langsung menyela pembicaraan orang lain, tapi kita diajari untuk bersikap sopan terhadap orang yang lebih tua sehingga jangan sampai menyela pembicaraannya. Benar sudah bukan bagian dari ilmu pasti lagi.
Saat remaja, kata 'benar' meneror kita lebih deras lagi. Walau tidak diinginkan, tiba-tiba saja muncul pertanyaan benarkah Tuhan itu ada ? Jika Tuhan itu benar-benar ada kenapa dunia tidak pernah benar ?! ah, Aryo ingat ketika ibunya tidak sengaja membaca ungkapan pikirannya itu di buku hariannya. Ibunya menangis. Kata-kata ibunya yang sampai sekarang masih ia ingat: kenapa begitu sulit bagi kamu memahami kita harus sujud sembahyang tiap hari….
Setelah itu, perspektif benar atau salah memasuki tahap yang paling rumit. Mencari apa yang benar menjadi sesuatu yang tidak terpola dengan baik dan cenderung chaos. Aryo punya tips sederhana: ketika ia dirongrong dengan berbagai pertanyaan yang bersifat filosofis, ia harus segera mengubahnya menjadi pertanyaan manajemen praktis. Dan, itu Cuma mengubah kata tanya saja. Dari "mengapa" menjadi "bagaimana". Mengapa kita harus hidup diubah menjadi bagaimana kita harus hidup.
Tapi dalam kasus kali ini, Aryo sama sekali tidak bisa menerapkan tips ini. Aryo dihadapkan pada dilema benar dan salah. Atasannya memerintahkan mewawancarai mantan ketua sebuah badan pemerintah yang baru saja dibubarkan. Atasannya wanti-wanti, wawancara ini harus diarahkan pada perspektif yang mendukung badan tersebut di tengah banyak pendapat kontra. Apa yang harus dilakukan Aryo ? banyak pilihan benar yang tersedia. Pertama, melakukan apa yang diperintahkan atasan. Kedua, menempuh jalan aman supaya ia tetap bisa mendapatkan nafkah yang diperlukan juga untuk biaya perawatan ibunya. Ketiga, menolak perintah ini karena hanya akan memberi dia kesempatan lebih banyak membohongi publik. Aryo tidak perlu merasa berada dalam dilema jika bisa larut dalam tradisi korupsi di negeri ini. Tapi, akhirnya inilah yang dia katakan: "listeners, sejak lahir kita selalu dilingkupi oleh persoalan benar-salah. lahir dari ibu yang tidak benar saja kita bisa celaka seumur hidup. Sekarang setelah dewasa, bisakah kita bebas dari benar-salah? Saya –dengan sangat sejujurnya—sangat ingin bebas dari persoalan benar-salah. nah, karena itu, begitu ada bapak Dobol di sini sebagai mantan ketua badan yang sangat bergengsi, saya akan berhenti sejenak membicarakan benar atau salah. Bapak ini tidak pernah peduli akan benar dan salah toh masih bisa tersenyum dan –tentu saja—kaya raya. bapak ini menjadi bukti betapa tahap-tahap kepribadian kita dalam memahami benar-salah itu sama sekali tidak ada gunanya……”
Aryo nyerocos terus, ia tidak peduli tindakannya ini dianggap benar atau salah. Ia ingin bebas.



Tuesday, March 02, 2004

BUDDY
Pagi-pagi sekali, Aryo terbangun.. Tidak ada mimpi aneh yang membangunkannya. Cuma sekadar reaksi biologis yang menyatakan bahwa tidurnya sudah cukup. Aryo tidak bisa memejamkan mata lagi. Ternyata di rak ada satu DVD yang masih belum sempat ditonton. Judulnya Bounce. Bintangnya Ben Affleck dan Gwyneth Paltrow. Film diawali dengan situasi menjelang natal. Di bandara banyak penerbangan tertunda karena badai salju. Tiga orang asing saling ketemu sekedar ngobrol. Obrolan biasa. Tapi tiba-tiba Buddy kasihan pada Greg yang ingin cepat pulang karena punya anak-istri. Buddy memberikan tiket pesawatnya yang berangkat lebih dulu. Greg merasa sangat berterima kasih. Tapi, sesuatu terjadi. Pesawat itu jatuh ! semua penumpangnya tewas.
Buddy merasa terbebani, dia menjadi stress. Dia sempat dirawat di pusat rehabilitasi penderita kecanduan alkohol. Buddy berusaha mengobati rasa bersalahnya dengan berbuat kebaikan pada janda mendiang Greg --Abby (Gwyneth Paltrow). Cerita bergulir pelan hingga mereka saling jatuh cinta. Menjelang akhir, sebelum Buddy sempat mengakui semuanya, Abby terlanjur tahu lebih dulu. Abby merasa dibohongi. Ia mengusir Buddy dan memaksa dia untuk mengucapkan good bye pada kedua anaknya. Ini adegan yang paling menarik. Buddy menitikan air mata dan berlutut. Semua terasa wajar. Ia ingin menunjukkan bahwa ia pun mengalami masa-masa berat karena harus menanggung rasa besalah telah memberikan tiket itu pada Greg, tapi juga bukan sesuatu yang direncanakannya kalau sekarang dia jatuh cinta pada Abby.
Aryo kagum.
Kadang-kadang sesuatu yang dahsyat itu tidak selalu berasal dari sesuatu yang gegap-gempita. Sesuatu yang dramatis tidak selalu terbentuk dari suara yang meraung-raung. Aryo terpekur.
"Para listeners, ada suatu ungkapan yang pernah saya tulis indah di sebuah kertas dan saya tempel di tembok. Ungkapan itu berbunyi: hidup ini adalah seni mengambil kesimpulan yang memadai dari berbagai premis yang tidak memadai. Mungkin agak sulit mencerna kata-kata itu. Tapi sebagai contoh, katakanlah hidup anda dipenuhi oleh berbagai pengalaman yang tidak enak dalam berhubungan cinta. Selalu gagal. Selalu ketemu wanita yang salah. Dari sekian banyak pengalaman yang tidak enak ini, anda harus tetap mengambil kesimpulan yang memadai supaya anda bisa melanjutkan hidup yang sehat dan berarti. Katakanlah anda mengambil kesimpulan bahwa semua wanita adalah bajingan, maka tertutup semua pintu bagi anda untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Tapi, di sisi lain, jika anda berkesimpulan bahwa semua wanita adalah bidadari, anda berarti lebih bodoh dari keledai yang tidak pernah mengulang kesalahan hingga dua. Di situlah letak seni menarik kesimpulan yang memadai itu. Nah, kalau anda punya dilema seperti ini, bagilah cerita dengan kami."
Sungguh di luar dugaan, ada salah satu pendengar –mengaku bernama Lela-- yang juga sedang terkesan dengan film Bounce. Terutama terkagum-kagum dengan karakter Buddy.
"Kalo ada karakter seperti Buddy itu saya akan kejar kemanapun sampai dapat. Saya menangis melihat ketulusan seperti itu. Ah, adakah laki-laki seperti itu ?! sepanjang hidup saya, saya Cuma ketemu laki-laki bajingan. Laki-laki yang hiperpragmatis. Kalau sudah tidak butuh lagi, buang saja ! Nah seperti yang dibilang Mas Aryo, di sinilah letak dilema itu. Saya harus mengambil kesimpulan yang memadai. Saya tidak pernah bisa thingking positive pada laki-laki, tapi saya sadar “pengalaman kadang-kadang adalah guru yang menyesatkan”. Saya juga mesti melihat pengalaman orang lain. Sedikit banyak saya masih optimis terhadap karakter baik dari laki-laki. Saya punya harapan ada sosok setulus Buddy, tapi ada juga pengawas di hati saya yang selalu mengingatkan saya untuk tidak terlalu muluk berharap. Dua hal itu sudah cukup bagi saya tidak cepat-cepat mengambil kesimpulan yang memadai mengenai laki-laki. Dengan demikian, juga tidak buru-buru mengambil kesimpulan yang memadai tentang hidup."
Aryo tercenung.
Dalam benaknya berkecamuk sebuah bayangan: di dunia ini ada 5 milyar manusia dengan kemungkinan 5 milyar juga variasi pengalamannya, tentunya dengan ribuan milyar premis yang tersedia, berapa banyak kesimpulan memadai yang tersedia ?
Aryo tersenyum, persoalan filosofis kok bisa menjelma menjadi persoalan matematis ya.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?