html> SANG PENYIAR <$BlogRSDURL$>

Monday, March 28, 2005

KOMEDI
Apa yang dimaksud lucu ? Pertanyaan ini muncul ketika Aryo tiba-tiba ia merasa tidak gampang tertawa. Saat teman-teman lain tertawa melihat sebuah tontonan di tv, Aryo memandangi layar kacar sambil otak berputar mencoba menemukan apa yang lucu. Seseorang menabrak tangga dan membuat orang lain jatuh, apakah itu lucu ? Bagi Aryo ini tidak lucu lagi karena begitu seringnya adegan ini muncul di sinetron komedi kita. Tapi mungkin bisa jadi lucu kalau sedikit diubah menjadi umpamanya: Seseorang membaca buku dengan topik takdir. Orang tersebut berjalan sambil membaca dengan keras bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah diatur oleh yang Di Atas. Tanpa sengaja dia menabrak tangga dan orang di atas menimpa dirinya. Sesuatu yang di Atas itu telah menimpah dirinya !
Aryo berpikir itu seharusnya itu bisa lucu karena mengandung ironi. Ada kata “Yang Di Atas” yang sekaligus mengandung pengertian konotatif dan denotatif.
Seorang psikolog, Patricia Keith Spiegel, mencatat setidaknya ada 8 teori yang bisa menjelaskan kenapa kita tertawa.
1. Surprise 2. Superiority 3. Biological 4. Incongruity 5. Ambivalence 6. Release 7. Configurational 8. Psychoanalytical.
Sori tidak bisa menjelaskan kedelapan itu satu per satu. (bagi yang yang ingin tahu lebih detail mendingan gue pinjemin aja bukunya.)

Aryo ingin menggarisbawahi satu satu saja di antara ke delapan itu, yaitu Surprise. Lucu mutlak mengandung unsur surprise. Kita merasa lucu karena ada unsur yang tidak terduga dari sebuah kejadian. Katakan begini, kita tertawa ketika melihat teman kita sedang tertidur di bangku bandara. Kita tidak pernah melihat dia tidur sebelumnya. Dan, ketika untuk pertama kalinya kita melihat ekspresi dia tidur yang tidak pernah kita lihat sebelumnya, kita merasa lucu.

Tapi tentu saja, selalu ada kekecualian untuk setiap teori. Dan kekecualian ini terjadi pada Srimulat. Meski sudah tak terhitung berapa kali -- mulai dari Timbul, Tarsan sampai Tessi bergaya tidak sengaja mencolok mata sendiri-- tapi tetap saja setiak kali adegan ini diulang selalu menimbulkan kelucuan.
Tapi ingat, Srimulat adalah pelawak panggung. Lawakan itu bisa berhasil di panggung, tapi tidak bisa terus-terusan diterapkan di televisi. Mau tidak mau, para seniman harus mengakui idiom yang terkenal bahwa repetisi adalah sebuah dosa besar bagi penciptaan.

Harus diakui, komedi memenuhi hari-hari kita. Pagi-pagi radio berlomba membuat orang ketawa dengan bicara ngalor-ngidul dan membanyol kesana kemari. Sebagian bisa membuat tersenyum karena lucu, sebagian membuat meringis karena gurauan yang sama sekali tidak lucu. Koran pagi di sana sini memberitakan fakta menyedihkan tapi kalau dipikir dengan rileks mungkin bisa menjadi sesuatu yang lucu. Televisi pagi-pagi sudah menyiarkan siaran ulang film-film komedi. Entah si Warkop Dono Kasino Indro (yang masih sakti mencetak rating) hingga Parto dan Jojon .
Di kantor bertemu dengan teman-teman yang sesekali berhaha hihi. Situasi komedi sesekali muncul. Dan ketika Aryo siaran, selalu saja ada komentar pendengar yang membuat Aryo tertawa segar. Situasi komedi muncul silih berganti. Tapi Aryo tetap merasa: Ada begitu banyak orang di luar sana mencoba menjadi pelawak dan sebagian besar gagal ! Karena itu Aryo sulit tertawa......

Thursday, March 03, 2005

“D”
Sudah lama tidak bermain huruf. Huruf D sudah lama menunggu. Kata apa ya ? Mmm...DIAM. Makna sebenarnya nanti dicek lagi di kamus. Berdasarkan pengertian umum, diam bermakna tidak melakukan apa-apa. Dalam pengertian sehari-hari, kata diam cukup kontekstual. Tidak selalu bermakna negatif. Tetapi juga tidak serta-merta bermakna positif. Coba perhatikan kalimat ini “Bejah ternyata menikah diam-diam” dan “Terpidana bom Bali, Utomo Pamungkas alias Mubarok, melakukan aksi diam dalam sidang Abu Bakar Ba'asyir yang digelar Kamis.”
Dalam kalimat terakhir kata diam ternyata bisa menjadi bentuk perlawanan. Diam tidak lagi berbuat apa-apa. Diam menjadi bagian sebuah perbuatan. Diam bagian dari berbuat sesuatu. Kalau orang sok berfilsafat mungkin bisa bilang “antara bertindak dan tidak bertindak, bukankah tidak bertindak termasuk bertindak juga ?” Rumit ? Filsafat dan permainan kata seringkali tidak bisa dibedakan. Seperti “tidak berpikir pun sebenarnya adalah berpikir.”
Lupakan dulu filsafat atau permainan kata. Kita coba mengeksplorasi kemungkinan positif dari diam. Ketika seseorang membutuhkan ketenangan, diam mutlak dibutuhkan. Dalam pelajaran meditasi yang diajarkan Luh Ketut Suryani, seseorang yang baru belajar meditasi harus berusaha diam 100%. Tidak ada gerakan sedikit pun kecuali bernapas. Bahkan ketika nyamuk menggigit dan gatal, usahakan jangan bergerak (“gatal tidak akan membuat kita mati” begitu kata Bu Luh). Alasannya, dalam raga yang 100% statis diharapkan akan muncul keheningan.
Aryo pernah mencoba ini dalam lama-lama ia setuju. Mungkin ada penjelasan ilmiah. Aryo mencoba berspekulasi: dengan tidak adanya gerakan sama sekali, otak pun akan istirahat total karena sama sekali tidak memproses perintah atau pikiran apapun. Dari situ baru muncul keheningan.
Ini kemungkinan pertama dari bentuk positif diam. Yang kedua, diam dibutuhkan ketika arus begitu beracun dan menyesatkan. Dalam kondisi sosial negeri ini sekarang ini, diam adalah kebajikan. Diam berarti tidak ikut korupsi. Diam berarti tidak ikut-ikutan memaksa meminta bagian komisi. Diam berarti tidak terseret arus ingin cepat kaya. Diam adalah batu besar di tengah sungai. Posisi dan kondisinya tidak memungkinkan batu bersahabat dengan sungai. Ia terus didesak. Ia terus digerus. Sedikti demi sedikit ia pasti tergores dan luka. Tapi tetap SIKAP di atas segala-galanya.
Kesimpulan Aryo, diam memang berbuat sesuatu. Tanpa peduli ini termasuk filsafat atau permainan kata.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?