html> SANG PENYIAR <$BlogRSDURL$>

Tuesday, February 06, 2007

SEPATU LUMPUR
Seorang pendengar laki-laki mengirimkan surat panjang, “Bung Aryo, saya sedang ragu-ragu dengan perkawinan. Saya termasuk orang yang optimis. Saya memulai perkawinan dengan cinta dan keyakinan bahwa istri saya pilihan tuhan. Keyakinan seperti itu memang diperlukan di awal. Dalam perjalanannya ternyata banyak persoalan praktis yang mesti dibenahi. Tapi kini, setelah 2 tahun usia perkawinan, saya menemukan persoalan prinsip yang harus dibenahi. Pemicunya sederhana. Suatu kali saya harus mengelap sepatu yang kena lumpur akibat hujan. Saya menaruh di atas tempat cuci piring dan mulai membersihkan. Istri saya protes. Sepatu tempatnya bukan di atas tempat cuci piring, katanya. Saya mencoba mengajaknya berdiskusi. Kenapa kamu berpandangan seperti itu ? Apakah karena sepatu selalu posisinya di bawah ? Kalau ya, itu berarti Cuma masalah simbol saja ? Bagaimana jika sepatunya bersih, apakah boleh di atas tempat cuci piring ? Dia menjawab, “tetap tidak boleh”. Pembicaraan akhirnya melebar ke keluhan dia, mau dibawa kemana moral anak kita. Dia menuduh saya terlalu liberal karena background pendidikan saya sosial. Sedangkan dia berasal dari ilmu eksakta. Saya sedih karena baru apa salahnya kita berdiskusi ? Saya berpendapat salah-benar bukan sekadar apa adanya begitu, salah-benar adalah proses pewarisan yang harus coba kita selidiki lagi minimal mencari alasan yang kuat kenapa sesuatu dikatakan salah. Bung Aryo, menurut ahli psikologi, perkawinan memang akan mendapat tantangan berat di tahun-tahun ketika mempunyai anak. Ada proses penyesuaian mengenai cara mendidik anak. Cara mendidik anak ini –yang menjadi pendapat istri dan suami-- akan menunjukkan dengan jelas seluruh latar belakang pendidikan keluarga dan wawasan yang dipunyai istri dan suami ini. Bung Aryo, pendidikan keluarga saya biasa saja. Ayah saya orang yang sangat taat beragama. Ibu saya seorang guru yang sangat kuat.. Ayah saya seorang guru SMA juga dan kebetulan diserahi tugas sampingan mengelola perpustakaan sekolah. Perpustakaan ini cukup besar karena melayani empat sekolah. Di antara sekian banyak buku saya tertarik dengan buku “Berkenalan dengan Eksistensialisme” sebuah buku filsafat karangan Fuad Hasan yang mencoba merangkum filsuf-filsuf Eksistensialisme seperti Nietsche, Camus, Sartre dan lain-lain. Saya tidak merasa ini bacaan berat. Saya menganggap ini bacaan menarik. Baru kemudian saya berhadapan kenyataan bahwa ayah saya tidak mengijinkan saya bersentuhan dengan ilmu filsafat. Dalam perkembangan berikutnya saya banyak membaca. Saya tidak menekuni filsafat secara intens. Bacaan saya beragam. Psikologi, sosiologi, sains populer, agama, dan lain-lain. Saya kemudian juga menulis. Awalnya menjadi reporter, lalu menjadi penerjemah buku-buku manajemen populer dan kemudian menulis kolom. Bung Aryo, dari perjalanan seperti itu, jelas sulit buat saya untuk bersikap sekadar menerima sesuatu salah dan benar begitu adanya. Dan, tambah sulit lagi menerima, orang yang paling dekat dengan saya tidak bisa berjalan seiring untuk memahami setiap persoalan yang kita temui. Saya kuatir, hidup ini menurut dia adalah perjalanan tour yang sudah ditetapkan apa-apa yang boleh dan apa-apa yang tidak boleh. Semua tidak bisa ditawar. Semua kembali ke buku. Bung Aryo, mungkin saya terlalu sensitif dalam menanggapi kejadian kecil ini. Tapi, saya membayangkan, istri saya pun mungkin akan terpukul dengan kenyataan bahwa suaminya ternyata begitu ‘liberal’. Bagaimana nasib anaknya nanti ? Bagaimana kalau suaminya tidak berubah ? Bung Aryo, semoga pengalaman perkawinan anda berbeda. Saya ingin mendengar pengalaman anda itu dalam siaran anda.kapan-kapan”

Aryo menaikkan kedua kaki di atas meja. Dia melamun sambil menggigit ujung pensil. Produser masuk.

“belum mulai siaran ?”
“gue lagi cari narasumber yang bisa cerita mengenai kehidupan perkawinan mereka yang berbahagia.
“si itu aja.”
“siapa ?
‘Sophan sophiaan ama Widyawati”
“menurut lu mereka bahagia ?”
“keliatannya begitu sih di tipi-tipi.”
“menurut gue sih nggak bahagia. Keliatan bahagia cuma karena mereka aktor aja.”
“begitu ? terus siapa dong ?”
“Nggak ada “
“nggak ada ? berarti kita nggak datengin narasumber ?”
“berarti kita nggak siaran hari ini. tema perkawinan yang bahagia sama sekali nggak memenuhi syarat.”

Aryo berdiri. Mengambil jaketnya dan melangkah pergi begitu saja. Produser memandangi dengan melongo.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?