html> SANG PENYIAR <$BlogRSDURL$>

Monday, November 22, 2004

KEMATIAN
Lebaran tahun ini terasa aneh di benak Aryo. Aryo merasakan begitu sering mendengar, membaca dan melihat sendiri kejadian-kejadian yang bersinggungan dengan kematian. Kematian terasa begitu sehari-hari. Kejadian pertama dialami Aryo ketika berangkat keluar kota bersama keluarga besarnya. Di tengah perjalanan seorang bayi anak sepupu Aryo –umur 1 tahun—mengalami kejang-kejang karena panas tinggi. Kondisinya begitu parah sehingga mata si kecil terlihat kosong dan “tak bernyawa”. Semuanya otomatis panik. Sepanik-paniknya. Kata-kata Subhanallah, Alloh Akbar berhamburan. Ibu si kecil sudah hampir pingsan. Para penduduk berkerumun. Pada saat kritis itu muncul seorang ustad. Dia membaca ayat suci dan meneteskan air di ubun-ubun si kecil. Pelan-pelan si kecil akhirnya bisa menangis. Setelah itu langsung dibawa ke rumah sakit terdekat. Di rumah sakit tersebut, di sebuah kota kecil bernama Kraksaan, ternyata jadi tempat penampungan kecelakaan di Situbondo antara truk mengangkut banyak penumpang dengan taft. Mayat-mayat terbujur, darah-darah berceceran.
Keesokannya di koran terbaca lagi kecelakaan. Kali ini di Tol Jagorawi. Satu keluarga mati akibat polisi menghentikan kendaraan karena presiden SBY akan lewat. Presiden lewat, satu keluarga mati. Tapi, jubir kepresidenan buru-buru mengeluarkan pernyataan bahwa kecelakaan ini tidak ada hubungannya dengan prosedur pengamanan SBY.
Ujungnya adalah hari ini. Hari pertama setelah liburan lebaran. Aryo kaget begitu memasuki gerbang petugas keamanan langsung memberitahu bahwa ada karyawan yang meninggal. Sempat terjadi simpang siur informasi antara pingsan dan meninggal. Tapi, akhirnya kabar ini dikonfirmasi: si karyawan meninggal pada jam 7.30 terkena serangan vertigo hingga terjatuh di kamar mandi.
Kematian….
Entahlah apa yang akan dikatakan Aryo pada para pendengarnya tentang kematian. Rasa-rasanya …kematian juga bukan topik yang tepat untuk dibicarakan di hari pertama setelah liburan pertama ini. Tapi kematian begitu sehari-hari di negeri ini. Orang mati karena tertabrak pengendara motor yang ngebut sembarangan, orang mati karena salah keroyok, orang mati karena dokter salah memberi obat, orang mati karena kejatuhan jembatan ambruk…. daftar bisa begitu panjang. Tapi tak perlu diskusi panjang. Kematian memang bisa membuat kita merenungi takdir kita, tapi – dalam kasus ini-- harusnya sekaligus membuat kita merenung: kelalaian apa yang telah kita lakukan sehingga orang lain begitu mudah mati sia-sia ?

Thursday, November 04, 2004

JARAK
Jarak secara riel mungkin cuma persoalan geometri. Sekadar ukuran dari titik A ke titik B. Tidak lebih dari itu. Tapi secara psikologis jarak ternyata jauh lebih rumit. Bagaimana Toni merasa dekat dengan Sarah ditengah jarah yang terbentang ribuan mil antara Jakarta dan New York ? Di sisi lain, bagaimana Biyan merasa jauh dengan Nana meski tiap hari tidur di satu tempat tidur ?
Secara klise mungkin bisa dijawab bahwa ini memang urusan hati. Hati menciptakan jaraknya sendiri-sendiri. Dan, persoalannya kemudian, sejauh mana jarak imajiner ini bisa diciptakan ?
Aryo penasaran dengan persoalan ini. Saat ini dia merasa tidak dekat dengan siapapun. Dia intim dengan beberapa perempuan. Tapi tidak merasa dekat. Tidak merasa kangen. Kadang-kadang ini menimpulkan perasaan kosong. Tidak dekat dengan siapapun. Bahkan tidak dengan Tuhan.
Mungkin itu inti sebenarnya dari kesepian. Semacam rasa ketika kita tidak merasa dekat dengan siapapun. Kita merasa punya jarak dengan siapapun. Jarak terentang jauh antara diri kita dan diri orang lain. Jarak yang jauh ini menciptakan jurang kekosongan. Ahhh….
Pagi ini Aryo datang ke kantor dengan lemas. Tapi ia tidak pernah merasa tidak bersemangat dengan siaran. Siaran adalah sumber nafkah sekaligus sumber energi. Karena itu tema kali ini adalah Jarak.
“Listeners, saya sedang merasa hampa. Kalau ada yang tidak pernah merasa hampa, saya cuma bisa bilang selamat. Anda berarti termasuk salah satu makhluk langka di dunia ini. Bagi yang pernah merasa hampa atau yang sedang ngerasa hampa, ada nggak sih hubungan antara rasa hampa dan jarak ? Hipotesis saya, kita merasa hampa karena kita merasa tidak dekat dengan siapapun. Kita ngerasa jauh dari siapapun. Ada banyak teman, tapi mereka terasa jauh. Ada banyak saudara tapi kesannya kita berjarak ribuan kilometer dengan mereka. Oke, kalau ada pengalaman atau opini silakan hubungi saya.”
Aryo terdiam.
Dia memberi isyarat pada operator untuk memutar Christina Aguilera. Tahu kan lagu dia yang bercerita tentang kesepian ? Nobody wants to be lonely/so why (why), why don’t you let me to love you.
Penelpon pertama dari seorang perempuan bernama Wiwit, umur 29.
“Gue termasuk yang lagi ngalami perasaan hampa. Gue termasuk aktif. Di kantor gue selalu mondar-mandir ngurus ini itu. Ketemu dengan banyak orang. Bergaul dengan banyak karakter. Sesekali ketawa-ketiwi dengan mereka. Tapi begitu sampai rumah, gue ngerasa…gimana ya…gue outsider. Gue bukan bagian dari mereka. Bukan perasaan inferior sih, justru superior. Seringkali terbersit di otak gue bahwa mereka itu orang-orang bodoh. Mereka orang-orang yang cuma mikirin masalah-masalah sepele. Sementara gue seringkali kepikiran masalah-masalah seperti pendidikan, nasib anak jalanan. Akhirnya, gue memang punya temen. Tapi gue nggak punya seseorang pun yang deket dengan gue. Pacar ? Ah boro-boro. Cari orang yang punya otak berdekatan aja susah, apalagi nyari orang yang punya kedekatan hati. Tapi gue tetap bersyukur. Gue mikirinya simple aja. Setiap orang dilahirin dengan kutukannya sendiri-sendiri. Nah, khusus buat gue, kutukannya adalah gue susah deket dengan orang. Gue secara riel bisa dekat dengan orang lain (bahkan gue bisa ciuman lho) tapi secara psikologis gue susahhhhh banget bisa deket. Ampun deh.”
Aryo tertawa. Ia terngiang-ngiang kata-kata Wiwit: setiap orang dilahirkan dengan kutukannya sendiri-sendiri. Ah, seandainya kita bisa memilih kutukan apa sebelum lahir….

This page is powered by Blogger. Isn't yours?