Tuesday, April 27, 2004
PUISI
Puisi sebenarnya adalah sesuatu yang sehari-hari. Setiap orang pada dasarnya bisa menulis puisi. Tidak percaya ? Sitor Situmorang, seorang penyair terkenal, menulis serangkaian kata yang cuma terdiri 4 kata “bulan purnama di atas kuburan” (Malam Lebaran). Semua orang sepakat itu puisi. Kalau melihat secara harafiah, maka harusnya setiap orang bisa membuat puisi. Apa susahnya coba merangkai cuma 4 kata ?! Aryo berjalan di sebuah lorong di pasar baru, ia melihat puisi ditulis di tembok. “Lebih baik kau tembak kepalaku daripada kau tembak hatiku.” Percuma segala diskusi panjang untuk membahas itu puisi atau tidak. Kata-kata milik siapa saja. Bisa seorang penyair, bisa seorang yang baru saja patah hati. Kata-kata ada dimana-mana. Aryo mengingat ketika pertama kalinya ia menulis puisi. Ia ingat waktu itu kelas 1 smp. Ia begitu antusias ketika guru bahasa Indonesia menugaskan untuk menulis puisi. Ia menulis puisi dengan judul Doa Seorang Pengemis. Akhirnya puisi itu yang terpilih di antara sekian banyak puisi untuk ditempel di majalah dinding. Aryo bangga. Untuk pertama kalinya muncul kesadaran pada diri Aryo: kata-kata bisa begitu sakti. Sejak puisinya ditempel itu, banyak teman perempuan Aryo ingin dibuatkan puisi.
Kemarin seorang penelpon membacakan puisinya di radio. Aryo menengok ke arah Norma yang berkali-kali memberi isyarat supaya segera memotong puisi tersebut. Tapi Aryo tidak memedulikan. Ia membiarkan penelpon itu membaca puisinya hingga tuntas. Di akhir puisi, penelpon itu menangis.
“Saya berharap laki-laki itu mendengar puisi saya. Dia harus mendengar puisi saya !!.”
Aryo tercenung. Sebagian orang membuat puisi untuk dibaca sebanyak-banyak orang. Sebagian orang menulis puisi untuk khusus satu orang. Begitu fokus. Begitu sakral. Seakan puisi tersebut tidak ada relevansinya sama sekali jika dibaca oleh orang yang bukan sasaran puisi itu dibuat. Mungkin dia tidak pernah tahu apakah puisi itu sudah sampai atau belum pada orang yang ditujunya itu. Tapi puisi telanjur tercipta. Bisa saja orang tersebut akhirnya mendengar dan mengetahui puisi itu. Tapi kemudian ternyata ia tidak peduli, atau mungkin sama sekali tidak paham apa maksud puisi itu dibuat. Lalu, apa gunanya puisi kalau begitu ?
Aryo tercenung di pinggir jendela. Lalu tercipta sebuah puisi
aku suka bermain jendela.
buka tutup buka
berharap angin masuk membawa cerita
tentang tempat sembunyi sorga
yang sudah lama tenggelam
dalam kemolekan acara televisi
aku suka bermain jendela
buka tutup buka tutup
cilukba dengan bayangan sendiri
dalam bentuk yang tidak aku kenali
seakan baru kembali dari sebuah negeri
tempat segala monster dan peri
aku suka bermain jendela
buka tutup buka tutup buka
menunggu sepenggal sorga menyatu dengan diri.
Aryo kembali berpikir. Puisi itu untuk orang tertentu, untuk sebanyak-banyak orang atau --jangan-jangan—untuk dirinya sendiri. Tapi itu tidak penting. Ia tetap sebuah puisi.
Puisi sebenarnya adalah sesuatu yang sehari-hari. Setiap orang pada dasarnya bisa menulis puisi. Tidak percaya ? Sitor Situmorang, seorang penyair terkenal, menulis serangkaian kata yang cuma terdiri 4 kata “bulan purnama di atas kuburan” (Malam Lebaran). Semua orang sepakat itu puisi. Kalau melihat secara harafiah, maka harusnya setiap orang bisa membuat puisi. Apa susahnya coba merangkai cuma 4 kata ?! Aryo berjalan di sebuah lorong di pasar baru, ia melihat puisi ditulis di tembok. “Lebih baik kau tembak kepalaku daripada kau tembak hatiku.” Percuma segala diskusi panjang untuk membahas itu puisi atau tidak. Kata-kata milik siapa saja. Bisa seorang penyair, bisa seorang yang baru saja patah hati. Kata-kata ada dimana-mana. Aryo mengingat ketika pertama kalinya ia menulis puisi. Ia ingat waktu itu kelas 1 smp. Ia begitu antusias ketika guru bahasa Indonesia menugaskan untuk menulis puisi. Ia menulis puisi dengan judul Doa Seorang Pengemis. Akhirnya puisi itu yang terpilih di antara sekian banyak puisi untuk ditempel di majalah dinding. Aryo bangga. Untuk pertama kalinya muncul kesadaran pada diri Aryo: kata-kata bisa begitu sakti. Sejak puisinya ditempel itu, banyak teman perempuan Aryo ingin dibuatkan puisi.
Kemarin seorang penelpon membacakan puisinya di radio. Aryo menengok ke arah Norma yang berkali-kali memberi isyarat supaya segera memotong puisi tersebut. Tapi Aryo tidak memedulikan. Ia membiarkan penelpon itu membaca puisinya hingga tuntas. Di akhir puisi, penelpon itu menangis.
“Saya berharap laki-laki itu mendengar puisi saya. Dia harus mendengar puisi saya !!.”
Aryo tercenung. Sebagian orang membuat puisi untuk dibaca sebanyak-banyak orang. Sebagian orang menulis puisi untuk khusus satu orang. Begitu fokus. Begitu sakral. Seakan puisi tersebut tidak ada relevansinya sama sekali jika dibaca oleh orang yang bukan sasaran puisi itu dibuat. Mungkin dia tidak pernah tahu apakah puisi itu sudah sampai atau belum pada orang yang ditujunya itu. Tapi puisi telanjur tercipta. Bisa saja orang tersebut akhirnya mendengar dan mengetahui puisi itu. Tapi kemudian ternyata ia tidak peduli, atau mungkin sama sekali tidak paham apa maksud puisi itu dibuat. Lalu, apa gunanya puisi kalau begitu ?
Aryo tercenung di pinggir jendela. Lalu tercipta sebuah puisi
aku suka bermain jendela.
buka tutup buka
berharap angin masuk membawa cerita
tentang tempat sembunyi sorga
yang sudah lama tenggelam
dalam kemolekan acara televisi
aku suka bermain jendela
buka tutup buka tutup
cilukba dengan bayangan sendiri
dalam bentuk yang tidak aku kenali
seakan baru kembali dari sebuah negeri
tempat segala monster dan peri
aku suka bermain jendela
buka tutup buka tutup buka
menunggu sepenggal sorga menyatu dengan diri.
Aryo kembali berpikir. Puisi itu untuk orang tertentu, untuk sebanyak-banyak orang atau --jangan-jangan—untuk dirinya sendiri. Tapi itu tidak penting. Ia tetap sebuah puisi.
Comments:
Post a Comment