Wednesday, March 03, 2004
BENAR
Giliran hari ini adalah kata berawalan huruf 'b'. Otak langsung merujuk ke kata BENAR. Kata ini begitu ajaib sehingga mengikuti hampir sepanjang hidup setiap orang dengan tahapan evolusi yang cukup unik. Saat balita, 'benar' menjadi sesuatu yang sangat sederhana. Kita cuma berkaca dari reaksi orang-orang di sekitar kita. benar atau salahnya kita mengucapkan kata ‘mama’ bisa dilihat dari reaksi orang-orang sekitar kita. Kalau salah, mereka tersenyum dan menyemangati. Ketika benar, mereka tetap tersenyum dan bersorak.
Beberapa tahun kemudian, kita belajar mengenai 'benar' yang lain. Benar sekarang menjadi lebih eksak. Kita belajar satu tambah satu sama dengan dua. Kita mulai mendapatkan reaksi yang tidak menyenangkan kalau kita berani-berani ngotot bahwa satu tambah satu adalah tiga, apalagi seribu.
Tahap berikutnya, benar dan salah menjadi sedikit lebih rumit. Kita mulai melihat ada sesuatu yang tidak benar di keluarga kita, tapi benar di keluarga lain. Kita tidak boleh menonton tv setelah jam tujuh malam, tapi si Badrun dengan enaknya bisa menonton hingga jam 12. Badrun boleh langsung menyela pembicaraan orang lain, tapi kita diajari untuk bersikap sopan terhadap orang yang lebih tua sehingga jangan sampai menyela pembicaraannya. Benar sudah bukan bagian dari ilmu pasti lagi.
Saat remaja, kata 'benar' meneror kita lebih deras lagi. Walau tidak diinginkan, tiba-tiba saja muncul pertanyaan benarkah Tuhan itu ada ? Jika Tuhan itu benar-benar ada kenapa dunia tidak pernah benar ?! ah, Aryo ingat ketika ibunya tidak sengaja membaca ungkapan pikirannya itu di buku hariannya. Ibunya menangis. Kata-kata ibunya yang sampai sekarang masih ia ingat: kenapa begitu sulit bagi kamu memahami kita harus sujud sembahyang tiap hari….
Setelah itu, perspektif benar atau salah memasuki tahap yang paling rumit. Mencari apa yang benar menjadi sesuatu yang tidak terpola dengan baik dan cenderung chaos. Aryo punya tips sederhana: ketika ia dirongrong dengan berbagai pertanyaan yang bersifat filosofis, ia harus segera mengubahnya menjadi pertanyaan manajemen praktis. Dan, itu Cuma mengubah kata tanya saja. Dari "mengapa" menjadi "bagaimana". Mengapa kita harus hidup diubah menjadi bagaimana kita harus hidup.
Tapi dalam kasus kali ini, Aryo sama sekali tidak bisa menerapkan tips ini. Aryo dihadapkan pada dilema benar dan salah. Atasannya memerintahkan mewawancarai mantan ketua sebuah badan pemerintah yang baru saja dibubarkan. Atasannya wanti-wanti, wawancara ini harus diarahkan pada perspektif yang mendukung badan tersebut di tengah banyak pendapat kontra. Apa yang harus dilakukan Aryo ? banyak pilihan benar yang tersedia. Pertama, melakukan apa yang diperintahkan atasan. Kedua, menempuh jalan aman supaya ia tetap bisa mendapatkan nafkah yang diperlukan juga untuk biaya perawatan ibunya. Ketiga, menolak perintah ini karena hanya akan memberi dia kesempatan lebih banyak membohongi publik. Aryo tidak perlu merasa berada dalam dilema jika bisa larut dalam tradisi korupsi di negeri ini. Tapi, akhirnya inilah yang dia katakan: "listeners, sejak lahir kita selalu dilingkupi oleh persoalan benar-salah. lahir dari ibu yang tidak benar saja kita bisa celaka seumur hidup. Sekarang setelah dewasa, bisakah kita bebas dari benar-salah? Saya –dengan sangat sejujurnya—sangat ingin bebas dari persoalan benar-salah. nah, karena itu, begitu ada bapak Dobol di sini sebagai mantan ketua badan yang sangat bergengsi, saya akan berhenti sejenak membicarakan benar atau salah. Bapak ini tidak pernah peduli akan benar dan salah toh masih bisa tersenyum dan –tentu saja—kaya raya. bapak ini menjadi bukti betapa tahap-tahap kepribadian kita dalam memahami benar-salah itu sama sekali tidak ada gunanya……”
Aryo nyerocos terus, ia tidak peduli tindakannya ini dianggap benar atau salah. Ia ingin bebas.
Giliran hari ini adalah kata berawalan huruf 'b'. Otak langsung merujuk ke kata BENAR. Kata ini begitu ajaib sehingga mengikuti hampir sepanjang hidup setiap orang dengan tahapan evolusi yang cukup unik. Saat balita, 'benar' menjadi sesuatu yang sangat sederhana. Kita cuma berkaca dari reaksi orang-orang di sekitar kita. benar atau salahnya kita mengucapkan kata ‘mama’ bisa dilihat dari reaksi orang-orang sekitar kita. Kalau salah, mereka tersenyum dan menyemangati. Ketika benar, mereka tetap tersenyum dan bersorak.
Beberapa tahun kemudian, kita belajar mengenai 'benar' yang lain. Benar sekarang menjadi lebih eksak. Kita belajar satu tambah satu sama dengan dua. Kita mulai mendapatkan reaksi yang tidak menyenangkan kalau kita berani-berani ngotot bahwa satu tambah satu adalah tiga, apalagi seribu.
Tahap berikutnya, benar dan salah menjadi sedikit lebih rumit. Kita mulai melihat ada sesuatu yang tidak benar di keluarga kita, tapi benar di keluarga lain. Kita tidak boleh menonton tv setelah jam tujuh malam, tapi si Badrun dengan enaknya bisa menonton hingga jam 12. Badrun boleh langsung menyela pembicaraan orang lain, tapi kita diajari untuk bersikap sopan terhadap orang yang lebih tua sehingga jangan sampai menyela pembicaraannya. Benar sudah bukan bagian dari ilmu pasti lagi.
Saat remaja, kata 'benar' meneror kita lebih deras lagi. Walau tidak diinginkan, tiba-tiba saja muncul pertanyaan benarkah Tuhan itu ada ? Jika Tuhan itu benar-benar ada kenapa dunia tidak pernah benar ?! ah, Aryo ingat ketika ibunya tidak sengaja membaca ungkapan pikirannya itu di buku hariannya. Ibunya menangis. Kata-kata ibunya yang sampai sekarang masih ia ingat: kenapa begitu sulit bagi kamu memahami kita harus sujud sembahyang tiap hari….
Setelah itu, perspektif benar atau salah memasuki tahap yang paling rumit. Mencari apa yang benar menjadi sesuatu yang tidak terpola dengan baik dan cenderung chaos. Aryo punya tips sederhana: ketika ia dirongrong dengan berbagai pertanyaan yang bersifat filosofis, ia harus segera mengubahnya menjadi pertanyaan manajemen praktis. Dan, itu Cuma mengubah kata tanya saja. Dari "mengapa" menjadi "bagaimana". Mengapa kita harus hidup diubah menjadi bagaimana kita harus hidup.
Tapi dalam kasus kali ini, Aryo sama sekali tidak bisa menerapkan tips ini. Aryo dihadapkan pada dilema benar dan salah. Atasannya memerintahkan mewawancarai mantan ketua sebuah badan pemerintah yang baru saja dibubarkan. Atasannya wanti-wanti, wawancara ini harus diarahkan pada perspektif yang mendukung badan tersebut di tengah banyak pendapat kontra. Apa yang harus dilakukan Aryo ? banyak pilihan benar yang tersedia. Pertama, melakukan apa yang diperintahkan atasan. Kedua, menempuh jalan aman supaya ia tetap bisa mendapatkan nafkah yang diperlukan juga untuk biaya perawatan ibunya. Ketiga, menolak perintah ini karena hanya akan memberi dia kesempatan lebih banyak membohongi publik. Aryo tidak perlu merasa berada dalam dilema jika bisa larut dalam tradisi korupsi di negeri ini. Tapi, akhirnya inilah yang dia katakan: "listeners, sejak lahir kita selalu dilingkupi oleh persoalan benar-salah. lahir dari ibu yang tidak benar saja kita bisa celaka seumur hidup. Sekarang setelah dewasa, bisakah kita bebas dari benar-salah? Saya –dengan sangat sejujurnya—sangat ingin bebas dari persoalan benar-salah. nah, karena itu, begitu ada bapak Dobol di sini sebagai mantan ketua badan yang sangat bergengsi, saya akan berhenti sejenak membicarakan benar atau salah. Bapak ini tidak pernah peduli akan benar dan salah toh masih bisa tersenyum dan –tentu saja—kaya raya. bapak ini menjadi bukti betapa tahap-tahap kepribadian kita dalam memahami benar-salah itu sama sekali tidak ada gunanya……”
Aryo nyerocos terus, ia tidak peduli tindakannya ini dianggap benar atau salah. Ia ingin bebas.
Comments:
Post a Comment