Tuesday, August 02, 2005
MENUNDA
Kekuatan negatif paling besar dari setiap orang adalah menunda. Setiap orang seakan dilahirkan dengan kutukan menjadi makhluk penunda. Kita suka menunda berbagai hal. Sehingga bisa disederhanakan, orang yang sukses adalah orang yang berhasil mengatasi kutukannya itu. Benar yang dikatakan Mario Teguh, semakin lama kita menunda semakin berat yang harus kita “cicil” untuk sampai pada target tertentu. Paham ? Maksudnya begini, kalau kita punya target mengumpulkan uang Rp 100 juta tahun depan dengan asumsi bekerja mulai sekarang maka target kita tiap hari mengumpulkan uang Rp. 273.972. Bayangkan kalau kita mesti menunda pekerjaan hingga bulan depan, berarti tiap hari yang harus kita “cicil” menjadi 298.507. Lebih besar kan. Tapi pertanyaannya apakah hidup harus matematis seperti itu ? Harus ! Buat orang yang anti-materialisme (ini sebenarnya terminologi yang aneh, tapi tak apa-apa lah untuk sementara dianggap sebagai paham yang tidak mau mengaitkan semua perilakunya dengan pencapaian materi) pun, dia harus menghitung berapa waktu yang dia miliki setiap hari. Apakah waktu itu cukup untuk membuat kita merasa bermakna ? Bagaimana bisa merasa bermakna kalau tidur saja kita perlu 8 jam sehari ? Sebagai penulis, bagaimana bisa bermakna jika cerpen saja mesti diselesaikan lebih dari satu tahun ?
“Listeners, saya baru saja melihat pak Ogah. Dia berdiri di tengah persimpangan jalan. Badannya kekar, pakaian cukup trendi, tampang lumayan lah dengan senyum cukup ramah. Dia mengatur lalu lalang kendaraan yang sebenarnya sudah lancar. Bisa dianggap dia cari perhatian kalau dia berdiri di sana cuma satu kali saja, tapi ini tiap hari ! Selama 2 minggu saya melihat laki-laki ini tanpa absen. Luar biasa ! Luar biasa karena dia sangat konsisten. Tapi paradoksnya, dia juga luar biasa melakukan sesuatu dengan bergairah (minimal terlihat dari tampangnya yang selalu tersenyum) meski orang lain memandangnya sebagai pekerjaan yang tidak ada gunanya. Ini ada kaitannya dengan tema ‘menunda’ karena menuru saya laki-laki tersebut menunda melakukan sesuatu yang lebih penting dengan melakukan sesuatu paling gampang yang bisa dia lakukan. Gampang karena dia tidak perlu berpikir. Nah, itu satu lagi yang dia tunda, berpikir mengenai pekerjaan yang bisa membuat dia bertambah baik setiap hari. Maaf kalau kata-kata saya terdengar terlalu merendahkan. Tapi, silakan kalau anda punya komentar berbeda. Terutama komentar yang menganggap bahwa yang dilakukan laki-laki itu cukup penting dan bermakna. Telpon aja kemari. Oke ????”
Aryo memutar lagu. Alih-alih berpikir keras mengenai kemungkinan apa yang dilakukan laki-laki itu mengagumkan, Aryo mengangkat kaki di atas meja sambil mengunyah buah lengkeh.
Lagu ke-6 terputar. Tapi telpon tidak berdering.
Mmmmm..... apakah itu berarti apa yang dilakukan laki-laki itu tidak bermakna ? Ups, mungkin kalimat yang lebih tepat, apakah itu menunjukkan hampir semua orang sulit melihat makna yang terkandung dari pekerjaan laki-laki tersebut ?
Tapi.... jangan-jangan apa yang dilakukan Aryo memikirkan penting-atau-tidak pekerjaan seseorang termasuk sejenis penundaan dari upaya berpikir yang lebih penting .... hehehe.....
Kekuatan negatif paling besar dari setiap orang adalah menunda. Setiap orang seakan dilahirkan dengan kutukan menjadi makhluk penunda. Kita suka menunda berbagai hal. Sehingga bisa disederhanakan, orang yang sukses adalah orang yang berhasil mengatasi kutukannya itu. Benar yang dikatakan Mario Teguh, semakin lama kita menunda semakin berat yang harus kita “cicil” untuk sampai pada target tertentu. Paham ? Maksudnya begini, kalau kita punya target mengumpulkan uang Rp 100 juta tahun depan dengan asumsi bekerja mulai sekarang maka target kita tiap hari mengumpulkan uang Rp. 273.972. Bayangkan kalau kita mesti menunda pekerjaan hingga bulan depan, berarti tiap hari yang harus kita “cicil” menjadi 298.507. Lebih besar kan. Tapi pertanyaannya apakah hidup harus matematis seperti itu ? Harus ! Buat orang yang anti-materialisme (ini sebenarnya terminologi yang aneh, tapi tak apa-apa lah untuk sementara dianggap sebagai paham yang tidak mau mengaitkan semua perilakunya dengan pencapaian materi) pun, dia harus menghitung berapa waktu yang dia miliki setiap hari. Apakah waktu itu cukup untuk membuat kita merasa bermakna ? Bagaimana bisa merasa bermakna kalau tidur saja kita perlu 8 jam sehari ? Sebagai penulis, bagaimana bisa bermakna jika cerpen saja mesti diselesaikan lebih dari satu tahun ?
“Listeners, saya baru saja melihat pak Ogah. Dia berdiri di tengah persimpangan jalan. Badannya kekar, pakaian cukup trendi, tampang lumayan lah dengan senyum cukup ramah. Dia mengatur lalu lalang kendaraan yang sebenarnya sudah lancar. Bisa dianggap dia cari perhatian kalau dia berdiri di sana cuma satu kali saja, tapi ini tiap hari ! Selama 2 minggu saya melihat laki-laki ini tanpa absen. Luar biasa ! Luar biasa karena dia sangat konsisten. Tapi paradoksnya, dia juga luar biasa melakukan sesuatu dengan bergairah (minimal terlihat dari tampangnya yang selalu tersenyum) meski orang lain memandangnya sebagai pekerjaan yang tidak ada gunanya. Ini ada kaitannya dengan tema ‘menunda’ karena menuru saya laki-laki tersebut menunda melakukan sesuatu yang lebih penting dengan melakukan sesuatu paling gampang yang bisa dia lakukan. Gampang karena dia tidak perlu berpikir. Nah, itu satu lagi yang dia tunda, berpikir mengenai pekerjaan yang bisa membuat dia bertambah baik setiap hari. Maaf kalau kata-kata saya terdengar terlalu merendahkan. Tapi, silakan kalau anda punya komentar berbeda. Terutama komentar yang menganggap bahwa yang dilakukan laki-laki itu cukup penting dan bermakna. Telpon aja kemari. Oke ????”
Aryo memutar lagu. Alih-alih berpikir keras mengenai kemungkinan apa yang dilakukan laki-laki itu mengagumkan, Aryo mengangkat kaki di atas meja sambil mengunyah buah lengkeh.
Lagu ke-6 terputar. Tapi telpon tidak berdering.
Mmmmm..... apakah itu berarti apa yang dilakukan laki-laki itu tidak bermakna ? Ups, mungkin kalimat yang lebih tepat, apakah itu menunjukkan hampir semua orang sulit melihat makna yang terkandung dari pekerjaan laki-laki tersebut ?
Tapi.... jangan-jangan apa yang dilakukan Aryo memikirkan penting-atau-tidak pekerjaan seseorang termasuk sejenis penundaan dari upaya berpikir yang lebih penting .... hehehe.....
Comments:
Post a Comment