Monday, October 01, 2007
SI BOCAH
Di sebuah senja di ruang eksekutif, Aryo menikmati santapan berbuka puasa dengan pandangan tak lepas dari seorang bocah laki-laki usia 3 tahun. Bocah ini seperti bocah lainnya. Gembil. lucu, dan menggemaskan. Yang membedakan cuma satu: anak ini punya ayah yang kekayaannya lebih dari Rp 10 triliun ! Untuk membayangkan besarnya angka Rp 10 triliun, cukup menghitung berapa banyak emas yang bisa dibeli dengan uang sebesar itu. Jika 1 gram emas Rp 250.000. Berarti uang sebesar itu bisa membeli 40 ton emas murni. 40 ton cukup untuk membuat monas terbuat dari emas murni hingga beton dan temboknya.
Aryo berpikir: jika anak ini menyadari ayahnya sekaya itu, apa kira-kira yang akan dimintanya ? Dia akan meminta beli Dufan Ancol lengkap dengan isinya ? Atau justru, merayu ayahnya supaya menyumbangkan uang itu demi pendidikan seluruh anak Indonesia ?
Si anak gendut ini tampak sesekali menolak makanan yang disodorkan pengasuhnya. Dengan kekayaan ayahnya, dia bisa beli semua makanan kalau memang dia bosan makanan tertentu. Dia bisa beli buah kurma Rp 250.000 per biji yang dijual di Senayan City, atau minta makan di restoran Eagle - Gstaad's yang per orangnya dikenai tarif 25.000 poundsterling (atau sekitar Rp 375.000.000).
Di saat usianya 3 tahun, memang dia belum mengerti apa-apa. Mungkin sepuluh tahun lagi, dia tidak sengaja dengar dari temannya atau tak sengaja membaca daftar orang terkaya di Forbes atau tidak sengaja mendengar bahwa harga rumahnya lebih dari Rp 50 milyar. Setelah itu, dia akan melihat bahwa dia “berbeda” dengan teman-teman sebayanya. Akankah dia mulai berpikir tentang takdir: kenapa aku dipilih Tuhan untuk ditaruh di orang tua yang begitu kaya ? Ah, mana mungkin dalam kehidupan yang nyaman kita mempertanyakan takdir. Harusnya dia mendengar lewat celetekukan anak miskin, “mungkinkah takdir Tuhan sesekali tidak permanen ? supaya aku tidak terus-terusan jadi anak miskin dan kamu tidak terus-terusan jadi orang kaya ?”.
Aryo menyelesaikan makannya. Aryo tidak bernafsu menambah nasi. Pikirannya disesaki pertanyaan sederhana: Si anak kecil ini mempunyai orang tua sekaya ini karena takdir ataukah karena kapitalisme yang ditiupkan Adam Smith 300 tahun lalu ?
Di sebuah senja di ruang eksekutif, Aryo menikmati santapan berbuka puasa dengan pandangan tak lepas dari seorang bocah laki-laki usia 3 tahun. Bocah ini seperti bocah lainnya. Gembil. lucu, dan menggemaskan. Yang membedakan cuma satu: anak ini punya ayah yang kekayaannya lebih dari Rp 10 triliun ! Untuk membayangkan besarnya angka Rp 10 triliun, cukup menghitung berapa banyak emas yang bisa dibeli dengan uang sebesar itu. Jika 1 gram emas Rp 250.000. Berarti uang sebesar itu bisa membeli 40 ton emas murni. 40 ton cukup untuk membuat monas terbuat dari emas murni hingga beton dan temboknya.
Aryo berpikir: jika anak ini menyadari ayahnya sekaya itu, apa kira-kira yang akan dimintanya ? Dia akan meminta beli Dufan Ancol lengkap dengan isinya ? Atau justru, merayu ayahnya supaya menyumbangkan uang itu demi pendidikan seluruh anak Indonesia ?
Si anak gendut ini tampak sesekali menolak makanan yang disodorkan pengasuhnya. Dengan kekayaan ayahnya, dia bisa beli semua makanan kalau memang dia bosan makanan tertentu. Dia bisa beli buah kurma Rp 250.000 per biji yang dijual di Senayan City, atau minta makan di restoran Eagle - Gstaad's yang per orangnya dikenai tarif 25.000 poundsterling (atau sekitar Rp 375.000.000).
Di saat usianya 3 tahun, memang dia belum mengerti apa-apa. Mungkin sepuluh tahun lagi, dia tidak sengaja dengar dari temannya atau tak sengaja membaca daftar orang terkaya di Forbes atau tidak sengaja mendengar bahwa harga rumahnya lebih dari Rp 50 milyar. Setelah itu, dia akan melihat bahwa dia “berbeda” dengan teman-teman sebayanya. Akankah dia mulai berpikir tentang takdir: kenapa aku dipilih Tuhan untuk ditaruh di orang tua yang begitu kaya ? Ah, mana mungkin dalam kehidupan yang nyaman kita mempertanyakan takdir. Harusnya dia mendengar lewat celetekukan anak miskin, “mungkinkah takdir Tuhan sesekali tidak permanen ? supaya aku tidak terus-terusan jadi anak miskin dan kamu tidak terus-terusan jadi orang kaya ?”.
Aryo menyelesaikan makannya. Aryo tidak bernafsu menambah nasi. Pikirannya disesaki pertanyaan sederhana: Si anak kecil ini mempunyai orang tua sekaya ini karena takdir ataukah karena kapitalisme yang ditiupkan Adam Smith 300 tahun lalu ?
Comments:
Post a Comment