html> SANG PENYIAR <$BlogRSDURL$>

Thursday, January 12, 2006

MENGANCAM
Bersenggolan mobil di Jakarta adalah sesuatu yang biasa. Aryo baru mengalaminya kemarin. Sebuah mobil melanggar jalurnya di kemacetan jalan MT. Haryono. Mobil ini menyenggol spion mobil Aryo hingga lecet. Emosi Aryo terpicu. Aryo memaki-maki dengan menggebrak-gebrak itu mobil itu. Sesaat Aryo merasa jumawa. Dua orang di mobil sepertinya “takluk” oleh kemarahan Aryo. Tapi ternyata mereka melawan. Mereka berargumen bahwa Aryo-lah yang salah jalur. Aryo makin marah. Dia menggebrak mobil itu sekali lagi sambil tetap memaki-maki. Orang yang duduk di sebelah sopir menunjukkan kemarahan yang tampak “membahayakan”. Dia bilang, “Jadi kau mau nih. Benar mau nih !” Sesaat Aryo masih belum sadar situasinya. Tapi kemudian ada sesuatu yang mengerikan melintas dalam benaknya. Gestur tubuh orang ini seakan-akan sedang mencabut pistol dari pinggangnya. Membayangkan itu, kemarahan Aryo seketika punah. Yang terpikir adalah menghindari konflik ini. Aryo cepat-cepat membelokkan mobilnya menghindar. Kini Aryo merasakan ketakutan. Dengkulnya gemetar.
Aryo mencoba menyimpulkan. Dalam situasi saling mengancam, yang menyelamatkan bukanlah keberanian, tapi justru rasa takut.
Paulo Coelho dalam novelnya “Devil and Miss Prym” punya pendapat lain tentang ancaman. Dia bilang, “ada dua jenis orang bodoh. Pertama, orang yang takut karena diancam. Kedua, orang yang merasa telah berbuat sesuatu dengan mengancam.” Paulo menambahkan, orang yang berbahaya tidak pernah mendahului dengan mengancam, dia akan menikam dan menembak seketika. Aryo setuju. Aryo mengakui dirinya penakut. Kadang-kadang muncul keinginan untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang berani dengan mengancam. Padahal, Aryo bukan tipe orang yang membahayakan. Aryo tak akan pernah sanggup menyarangkan pisau ke perut seseorang yang paling dibenci sekali pun.
Memikirkan itu, Aryo jadi bergidik memikirkan Palembang. Liputan di Sisi Lain menyebutkan Palembang dipenuhi orang-orang berbahaya. Mereka larut dalam budaya “tanpa ancaman”. Tak ada kata-kata “gue bunuh lu”. Yang bicara lebih dulu selalu pisau. Orang Palembang --bahkan anak SMP-- biasa menyimpan pisau kecil di pinggangnya ketika pergi kemana pun untuk jaga-jaga. Permusuhan di antara mereka jarang adu mulut. Tapi saling adu cepat menghunjamkan pisaunya.
Ketika kemarahan begitu mendidih, Aryo beberapa kali mengimajinasikan menaruh pistol di hadapan musuhnya itu. Tapi itu tidak pernah menjadi kenyataan. Pertama, Aryo memang penakut. Kedua, Aryo sadar kini: hanya orang bodoh yang merasa berbuat sesuatu dengan mengancam (bagaimana jika yang kau ancam itu seseorang yang sudah sangat terbiasa menusukkan pisau ke tubuh orang ?)

Comments: Post a Comment

This page is powered by Blogger. Isn't yours?