Thursday, January 05, 2006
BAHASA VISUAL
Aryo berdiri di tengah Citos. Ia mulai menghitung. Hasilnya, rata-rata setiap 3 detik lewat wanita cantik. Aryo pernah berdiri di pasar Mojokerto. Hasilnya, selama 3 jam tidak ada wanita cantik --minimal menurut ukuran Aryo— yang lewat. Pelajaran apa yang bisa diambil ? Sekadar perbandingan bahwa Jakarta jauh lebih banyak perempuan cantik ketimbang Mojokerto ? Ah, sepele banget. Atau, bahwa ternyata seluruh kehidupan kita sudah sangat dipengaruhi dengan bahasa visual sehingga begitu lingkungan itu tidak menampilkan bahasa visual seperti biasanya, kita merasa ada yang aneh ? Bisa jadi.
Aryo begitu terbiasa dengan seliweran wanita cantik. Sehingga pasar Mojokerto menjadi aneh. Coba sekarang dibalik. Lelaki Mojokerto berdiri di Citos. Pasti dia juga merasa aneh. Dalam benaknya: darimana saja munculnya perempuan-perempuan cantik ini ?
Begitu juga dengan bahasa visual yang lain. Kita di Jakarta begitu terbiasa dengan pemandangan orang membuang sembarangan. Orang buang rokok di trotoar, orang buang plastik lewat jendela mobil, orang melempar kulit jeruk ke temannya dan akhirnya jatuh di jalanan. Bahasa visual kita sehari-hari dipenuhi gambaran ini. Karena itu Aryo takjub begitu berada di Seoul. Jangan harap bisa menemukan sampah di jalanan. Lebih takjub lagi, ketika Aryo berkunjung ke stadion yang menjadi tempat Piala Dunia 2002. Dengan bangga masyarakat Korea memajang foto-foto yang menunjukkan bagaimana anak-anak kecil Korea tanpa diperintah mengumpulkan sampah. Jutaan orang Korea berkumpul di stadion itu ketika Korea Selatan masuk semi final. Setelah jutaan orang itu bubar, tidak ada sedikit pun sampah tercecer. Aryo menjadi cengeng. Ingin rasanya menangis. Bagaimana perjalanan Korea Selatan sampai pada peradaban seperti itu ?
“Listeners, betapa sering orang-orang gembar-gembor tentang perlunya tokoh panutan. Omong kosong !!!! Seakan-akan peradaban kita nggak akan pernah maju tanpa tokoh panutan. Seakan-akan semua aksi baik kita mesti menunggu munculnya tokoh panutan. Sambil menunggu tokoh panutan itu peradaban kita sudah ambruk duluan. Yang penting sistem man, bukan orang. Yang penting peradaban, bukan tokoh yang nggak pernah berbuat salah. Maaf listeners jika pagi ini terganggu dengan ueng-uneg saya. Saya sih berharap uneg-uneg saya sama dengan uneg-uneg anda. Saya akan lebih bersyukur lagi kalau ternyata listeners sependapat dengan saya. Jangan pernah menunggu. Cepetan beraksi. Mulailah menciptakan bahasa visual yang membuat peradabaan kita membaik. Persetan dengan tokoh panutan !”
Aryo berdiri di tengah Citos. Ia mulai menghitung. Hasilnya, rata-rata setiap 3 detik lewat wanita cantik. Aryo pernah berdiri di pasar Mojokerto. Hasilnya, selama 3 jam tidak ada wanita cantik --minimal menurut ukuran Aryo— yang lewat. Pelajaran apa yang bisa diambil ? Sekadar perbandingan bahwa Jakarta jauh lebih banyak perempuan cantik ketimbang Mojokerto ? Ah, sepele banget. Atau, bahwa ternyata seluruh kehidupan kita sudah sangat dipengaruhi dengan bahasa visual sehingga begitu lingkungan itu tidak menampilkan bahasa visual seperti biasanya, kita merasa ada yang aneh ? Bisa jadi.
Aryo begitu terbiasa dengan seliweran wanita cantik. Sehingga pasar Mojokerto menjadi aneh. Coba sekarang dibalik. Lelaki Mojokerto berdiri di Citos. Pasti dia juga merasa aneh. Dalam benaknya: darimana saja munculnya perempuan-perempuan cantik ini ?
Begitu juga dengan bahasa visual yang lain. Kita di Jakarta begitu terbiasa dengan pemandangan orang membuang sembarangan. Orang buang rokok di trotoar, orang buang plastik lewat jendela mobil, orang melempar kulit jeruk ke temannya dan akhirnya jatuh di jalanan. Bahasa visual kita sehari-hari dipenuhi gambaran ini. Karena itu Aryo takjub begitu berada di Seoul. Jangan harap bisa menemukan sampah di jalanan. Lebih takjub lagi, ketika Aryo berkunjung ke stadion yang menjadi tempat Piala Dunia 2002. Dengan bangga masyarakat Korea memajang foto-foto yang menunjukkan bagaimana anak-anak kecil Korea tanpa diperintah mengumpulkan sampah. Jutaan orang Korea berkumpul di stadion itu ketika Korea Selatan masuk semi final. Setelah jutaan orang itu bubar, tidak ada sedikit pun sampah tercecer. Aryo menjadi cengeng. Ingin rasanya menangis. Bagaimana perjalanan Korea Selatan sampai pada peradaban seperti itu ?
“Listeners, betapa sering orang-orang gembar-gembor tentang perlunya tokoh panutan. Omong kosong !!!! Seakan-akan peradaban kita nggak akan pernah maju tanpa tokoh panutan. Seakan-akan semua aksi baik kita mesti menunggu munculnya tokoh panutan. Sambil menunggu tokoh panutan itu peradaban kita sudah ambruk duluan. Yang penting sistem man, bukan orang. Yang penting peradaban, bukan tokoh yang nggak pernah berbuat salah. Maaf listeners jika pagi ini terganggu dengan ueng-uneg saya. Saya sih berharap uneg-uneg saya sama dengan uneg-uneg anda. Saya akan lebih bersyukur lagi kalau ternyata listeners sependapat dengan saya. Jangan pernah menunggu. Cepetan beraksi. Mulailah menciptakan bahasa visual yang membuat peradabaan kita membaik. Persetan dengan tokoh panutan !”
Comments:
Post a Comment