Friday, February 25, 2005
TEMAN & UANG
Mari bercerita tentang seorang teman. Aryo mengenalnya sejak SMA. Dia tipe yang aktif. Tidak terlalu pintar, tidak terlalu lucu, wajah biasa saja, tapi punya banyak teman. Ia aktif di OSIS dan kegiatan ekstrakurikuler. Tapi ia bukan tipe gaul. Gaul di sini boleh lah diartikan sebagai aktivitas keluyuran khas anak muda.
Aryo bersahabat dengannya sejak SMA. Sampai kuliah pun ia masih sering kontak. Ia kuliah di STAN . Sebuah sekolah yang menjamin lulusannya mendapatkan ikatan dinas di departemen keuangan, khususnya kantor pajak. Setelah lulus dan ditempatkan di kantor pajak daerah Jawa Tengah, Aryo jarang lagi kontak dengan dia. Sepuluh tahun setelah itu Aryo bertemu lagi dengan dia. Gayanya masih seperti dulu. Yang membedakkan cuma apa yang dikenakannya. Sepatu Bally dan jam tangan Rolex. Dan, istrinya sudah dua. Rumahnya empat. Ia bercerita berharap menambah satu rumah lagi karena –menurutnya—ia punya kewajiban memberi setiap anaknya satu rumah. Maklum, anaknya sekarang sudah 5 ekor --eh sori—5 orang.
Aryo ingat dulu ia sering bersaing dengan temannya dalam banyak hal. Kadang soal cewek, kadang soal pengalaman bergaul dengan orang-orang penting. Tapi kini Aryo malas membanggakan apapun. Ia seakan kehilangan selera sama sekali untuk bersaing. Ia membiarkan temannya bercerita macam-macam. Tentang rumah, tentang wanita-wanita yang selama ini dekat dengan dirinya, tentang dua usaha rental mobil yang dimilikinya, tentang beberapa perusahaan yang menawarinya dengan gaji tinggi tapi ia tidak tertarik dan tetap menjadi pegawai negeri.
Satu hal yang dipikirkan Aryo: Korupsi. Tidak mungkin melepaskan kata itu dari diri dia. Sempat terpikir oleh Aryo untuk bilang: “Plis deh. Kalau pingin kaya ya janganlah jadi pegawai negeri !” Tapi kata itu tidak pernah diucapkan. Aryo tetap bersikap sebagaimana layaknya teman. Tapi Aryo juga sekaligus sedih. Orang yang dulu waktu SMA sangat menghindari rokok, alkohol dan pergaulan nggak karuan toh akhirnya tidak lebih seorang pencuri. Bukankah indikasi korupsi begitu meluas adalah banyaknya orang yang kita kenal yang melakukan korupsi ? Korupsi sudah menjadi begitu wajar. Lagi-lagi kenyataan ini membuat Aryo sedih.
Aryo membuka lemari. Dia mengeluarkan selembar giro bernilai Rp 15 juta. Tanggal di giro itu sudah dua bulan lalu. Seseorang memberikan giro itu tanpa meminta apa-apa, sekadar sebagai “bagian dari pertemanan”. Aryo tidak mencairkan bukan karena tidak butuh uang. Tapi Aryo memang tidak percaya “easy money”. Tidak mau terima uang gampang apakah berarti tidak akan terima uang apapun dalam bentuk hadiah ? Entahlah. Aryo tidak bisa menjawab sekarang. Iming-iming bukan sekadar jumlah uang yang besar. Iming-iming itu juga datang dari begitu cueknya orang-orang di sekitar kita atas tindakan koruptif kita.
Mari bercerita tentang seorang teman. Aryo mengenalnya sejak SMA. Dia tipe yang aktif. Tidak terlalu pintar, tidak terlalu lucu, wajah biasa saja, tapi punya banyak teman. Ia aktif di OSIS dan kegiatan ekstrakurikuler. Tapi ia bukan tipe gaul. Gaul di sini boleh lah diartikan sebagai aktivitas keluyuran khas anak muda.
Aryo bersahabat dengannya sejak SMA. Sampai kuliah pun ia masih sering kontak. Ia kuliah di STAN . Sebuah sekolah yang menjamin lulusannya mendapatkan ikatan dinas di departemen keuangan, khususnya kantor pajak. Setelah lulus dan ditempatkan di kantor pajak daerah Jawa Tengah, Aryo jarang lagi kontak dengan dia. Sepuluh tahun setelah itu Aryo bertemu lagi dengan dia. Gayanya masih seperti dulu. Yang membedakkan cuma apa yang dikenakannya. Sepatu Bally dan jam tangan Rolex. Dan, istrinya sudah dua. Rumahnya empat. Ia bercerita berharap menambah satu rumah lagi karena –menurutnya—ia punya kewajiban memberi setiap anaknya satu rumah. Maklum, anaknya sekarang sudah 5 ekor --eh sori—5 orang.
Aryo ingat dulu ia sering bersaing dengan temannya dalam banyak hal. Kadang soal cewek, kadang soal pengalaman bergaul dengan orang-orang penting. Tapi kini Aryo malas membanggakan apapun. Ia seakan kehilangan selera sama sekali untuk bersaing. Ia membiarkan temannya bercerita macam-macam. Tentang rumah, tentang wanita-wanita yang selama ini dekat dengan dirinya, tentang dua usaha rental mobil yang dimilikinya, tentang beberapa perusahaan yang menawarinya dengan gaji tinggi tapi ia tidak tertarik dan tetap menjadi pegawai negeri.
Satu hal yang dipikirkan Aryo: Korupsi. Tidak mungkin melepaskan kata itu dari diri dia. Sempat terpikir oleh Aryo untuk bilang: “Plis deh. Kalau pingin kaya ya janganlah jadi pegawai negeri !” Tapi kata itu tidak pernah diucapkan. Aryo tetap bersikap sebagaimana layaknya teman. Tapi Aryo juga sekaligus sedih. Orang yang dulu waktu SMA sangat menghindari rokok, alkohol dan pergaulan nggak karuan toh akhirnya tidak lebih seorang pencuri. Bukankah indikasi korupsi begitu meluas adalah banyaknya orang yang kita kenal yang melakukan korupsi ? Korupsi sudah menjadi begitu wajar. Lagi-lagi kenyataan ini membuat Aryo sedih.
Aryo membuka lemari. Dia mengeluarkan selembar giro bernilai Rp 15 juta. Tanggal di giro itu sudah dua bulan lalu. Seseorang memberikan giro itu tanpa meminta apa-apa, sekadar sebagai “bagian dari pertemanan”. Aryo tidak mencairkan bukan karena tidak butuh uang. Tapi Aryo memang tidak percaya “easy money”. Tidak mau terima uang gampang apakah berarti tidak akan terima uang apapun dalam bentuk hadiah ? Entahlah. Aryo tidak bisa menjawab sekarang. Iming-iming bukan sekadar jumlah uang yang besar. Iming-iming itu juga datang dari begitu cueknya orang-orang di sekitar kita atas tindakan koruptif kita.
Comments:
Post a Comment